Biet ramee ureung Aceh yang ka Pungoe sampai perlu tambah RSJ

BERANDA ACEH - Prof Arild Granerud dari Hedmark University College, Norwegia, mengatakan bahwa Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Aceh yang ada saat ini kondisinya sempit dan tidak layak lagi sebagai tempat rehabilitasi. Aceh harus membangun RSJ yang baru yang lebih representatif. Apalagi, hasil penelitian WHO tahun 2014 menyebutkan, jumlah masyarakat Aceh yang mengalami gangguan cenderung meningkat.

Hal itu disampaikan Prof Arild dalam pertemuannya dengan Komisi VI DPRA, Jumat (13/2), di Ruang Badan Musyawarah (Banmus) DPRA. Kepada Komisi IV, Arild menyatakan, RSJ yang baru merupakan sesuatu yang mendesak untuk dilakukan, karena berdasarkan data WHO, masyarakat Aceh yang mengalami gangguan jiwa mencapai 14 persen.

Jumlah penduduk Aceh saat ini, kata Arild, sekitar 5,2 juta jiwa. Jika dipersentasekan, maka masyarakat Aceh yang mengalami gangguan jiwa mencapai 728.000 orang. “Ini merupakan jumlah yang besar. Makanya kebutuhan rumah sakit jiwa yang refresentatif sudah sangat diperlukan sebelum pasiennya semakin banyak,” ujarnya.

Rumah Sakit Jiwa Aceh yang ada saat ini, menurut Prof Arild Granerud, kawasannya sudah sempit dan bising akibat keramaian manusia yang berlalu lalang. Sehingga tidak memberikan ketenangan dan kenyamanan bagi pasien yang mengalami gangguan jiwa, dalam menjalani proses rehabilitasi.
Lokasi RSJ yang ideal, kata Prof Arild, berada di kawasan yang lebih luas, dan jauh dari kebisingan dan hiruk pikuk aktivitas manusia. Kawasannya hijau, banyak pohon dan tersedia lahan untuk bercocok tanam atau kegiatan lainnya, yang bisa membuat pasien gangguan jiwa merasa tenang dan nyaman.

Penyebab gangguan jiwa

Prof Arild mengatakan, banyak penyebab tingginya angka penderitagangguan jiwa di Aceh. Antara lain masa konflik yang hampir 30 tahun, membuat banyak masyarakat tertekan, ketakutan, dan trauma. Ditambah lagi bencana gempa bumi dan tsunami pada akhir 2004 lalu, dan ada juga akibat pengaruh narkotika dan lainnya. Ia menambahkan, kondisi penderita gangguang jiwa di Norwegia hampir sama dengan Aceh. Persentasenya di atas 10 persen. Tapi, masyarakat di sana, ketika terserang gejala penyakit jiwa, mereka langsung ke rumah sakit meminta diobati dan direhabilitasi sampai sembuh. Tak perlu merasa malu.

“Ini yang tidak dilakukan di Aceh. Di Aceh kalau ada yang menderita gangguan jiwa, mereka dikurung dan dipasung di tempat yang jauh dari keluarganya. Padahal itu tidak boleh karena makin membuat jiwanya terganggu, bahkan tidak akan sembuh sampai ia akan meninggal,” ujarnya.
Prof Arild menyebutkan, untuk mempercepat kesembuhan pasien jiwa, perlu penanganan serius dan dimulai dari hal-hal kecil. Misalnya, menghormati dan menghargai pasien, mendapat layanan yang baik secara intensif, serta memberdayakan mereka agar bisa hidup mandiri.

Untuk membantu masyarakat Aceh yang mengalami  gangguan jiwa, kata Arild, Pemerintah Norwegia dan Hedmark University College, sudah melakukan kerja sama dengan Pemerintah Aceh, RSJ Banda Aceh sejak tahun 2006, pada masa rehab-rekon Aceh pascatsunami.

Sumber Tribunnews
Previous Post Next Post

نموذج الاتصال