10 tahun damai asyik dengan isu-isu marwah Aceh dan keamanan.

Beranda Aceh Sabang: Salah satu nikmat damai yang harus kita syukuri dengan ditandatanganinya MoU Helsinki adalah: Pemerintah RI memberikan amnesti kepada semua orang yang telah terlibat dalam kegiatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), juga narapidana dan tahanan politik yang ditahan akibat konflik dibebaskan tanpa syarat. Walau pada hakikatnya ada beberapa orang yang agak terlambat menerima amnesti ini.
Nadine


Jadi bersyukurlah, ada ratusan orang yang telah dilepaskan dari penjara, dapat pulang ke rumah berkumpul dengan ayah, ibu, anak, istri dan teman-teman, juga dikembalikan hak-hak politik, ekonomi, dan sosial serta hak untuk berpartisipasi secara bebas dalam proses politik, baik di Aceh maupun pada tingkat nasional.

Kemudian orang-orang yang selama konflik telah menanggalkan kewarganegaraan Republik Indonesia berhak untuk mendapatkan kembali kewarganegaraan mereka. 

Rakyat Aceh dapat kembali pulang ke Aceh tanpa takut ditangkap, bahkan sebagian dari mereka yg dulu di penjara dan dulu lari ke luar negeri telah mendapatkan posisi penting dalam Pemerintahan Aceh.

Jadi kalau ada pihak yang menghasut untuk menolak MoU Helsinki, coba pikirkan baik-baik, apa enak hidup dalam penjara atau terpaksa hidup terasing dari tanah Aceh?

Tapi kini setelah 10 tahun damai Aceh terjalin, kemandirian ekonomi dan kemandirian hukum masih jauh dari harapan. Banyak pihak bermain di Aceh, menciptakan isu-isu berbahaya, seperti isu marwah Aceh dan keamanan. 

Rakyat hidup dalam ketidakpastian, energi eksekutif dan legislatif terkuras untuk mengurus perkara kecil seperti bendera dan lambang, seolah-olah itu merupakan marwah Aceh, padahal Marwah Aceh adalah mengangkat derajat masyarakat Aceh agar mereka sejahtera...

Sementara itu di luar sana, ada pihak yang menciptakan isu seolah kondisi Aceh tak aman. Setelah 2 anggota Kodim Aceh Utara ditembak dan polisi menduga karena persoalan ladang ganja, Aceh dikondisikan sebagai daerah yang kembali bergolak sehingga TNI langsung turun tangan, padahal mereka merupakan kelompok kriminal biasa yang harus ditindak sesuai aturan negara yang masih merupakan wewenang polisi untuk penegakan hukumnya. 

Dalam kasus kejadian di Aceh saat ini, tidak ada satu pun indikator yang menunjukkan bahwa kelompok Din Minimi yang dicari-cari itu sebagai gerakan separatis, melakukan pemberontakan dan terlibat terorisme, sehingga TNI merasa berhak mengobok-obok Aceh dengan alasan mencari pembunuh dua orang anggotanya. Aceh dijadikan arena balas dendam, seperti kisah dalam film India.

10 tahun damai Aceh, isu-isu penting seperti harus terbentuknya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh serta Pengadilan HAM seakan tenggelam dengan isu-isu marwah Aceh dan keamanan. 

Pasca damai Aceh, seharusnya polisilah yang berdiri paling depan untuk menegakkan hukum di Aceh, tidak membuka pintu bagi pihak lain untuk melakukan operasi keamanan yang tak seorang pun dapat menjamin bahwa mereka tidak kembali melakukan pelanggaran HAM seperti masa konflik dulu dengan alasan ada perintah dari Gubernur Aceh yang meminta pihak yang terlibat ditangkap hidup atau mati. 

Foto-foto mayat yang terpampang jelas di media tanpa sensor membuat kita bergidik, membangkitkan trauma rakyat yang belum pulih. 

10 tahun pasca damai Aceh, tegakkanlah damai yang bermartabat bagi semua. Damai yang membawa keadilan, rasa aman, dan kesejahteraan bagi semua. by Nadine
Previous Post Next Post

نموذج الاتصال