Mi Wa (Ibu) di Kampung Kampung sebenarnya lebih hebat dari Tentara GAM

Ibu ibu Aceh
Beranda Aceh 21-12-2014 - Siapa bilang perempuan lemah? Siapa bilang perempuan tidak hebat. Hanya orang-orang yang jiwanya sudah terpenjara dan hatinya telah pula menjadi buta yang berani dan tetap istiqamah mengatakan bahwa kaum hawa itu warga kelas dua.


Aceh mencatat sejarah. Saya adalah saksi matanya. Ketika lelaki telah hilang kelelakiannya, maka perempuan (kaum ibu-pen) yang kemudian bertransformasi menjadi lelaki. Bahkan merangkap dan terperangkap dalam dua jenis kelamin, menjadi perempuan –karena kodrat- dan menjadi lelaki –karena peran-. Luar biasa. Tak ada lelaki yang bisa berperan ganda seperti yang saya sebutkan diatas.

Masih ingat pergolakan Aceh era GAM melawan Jakarta? Siapa yang menjadi bumper sekaligus perisai bagi Aceh dalam berbagai lini? Jawabannya adalah: perempuan. Bahkan mereka seringkali menjadi korban yang bertubui-tubi dari sebuah kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh binatang yang berjenis kelamin jantan.

Saya ingin berbagi sebuah kisah. Peristiwa ini saya kutip dari sebuah buku fakta tentang kebiadaban perang dimasa konflik. 

Tersebutlah seorang wanita yang ditangkap oleh aparat keamanan dan dibawa kesemak-semak. Dia dutuduh sebagai mata-mata gerilyawan. Kebetulan suami wanita itu adalah kaum gunung yang saat itu bergerilya di hutan-hutan.

Dia diperkosa secara brutal oleh beberapa prajurit. Serdadu “penjajah” bergotong royong menggarap liang wanita yang tidak berdaya itu. Puas digagahi, dia dibebaskan. Dia pulang dengan suasana hati yang remuk redam.

Kabar tersebut sampai ke telinga sang suami. Dengan”gagah perkasa” lelaki itu pulang kampung. Bukannya berbelas kasih terhadap penderitaan sang istri. Dia malah mentalak tiga perempuan tersebut. Sungguh biadap.

Mungkin bagi lelaki itu, apa yang menimpa istrinya merupakan sebuah aib. Seolah-olah istrinya telah dengan suka rela menyerahkan tubuhnya kepada anjing-anjing yang berjenis kelamin jantan itu. 

Apa yang saya ceriterakan diatas, merupakan salah satu fakta diantara jutaan fakta lainnya yang dialami oleh “srikandi” tanah rencong.

Dalam lingkungan yang lebih kecil, di lorong jalan tuha (tuha bermakna lama—pen) Gampong Teupin Mane. Saat konflik disana, para ibu disana telah menjadi pahlawan-pahlawan kecil yang tidak pernah dicatat oleh sejarah.

Saya masih mampu merekam sebuah peristiwa dipagi buta. Brimob tiba-tiba masuk. Kalau tidak salah saat itu saya kelas II STM. Kaum berbaju cokelat tua itu sedang mengejar salah seorang anggota GAM yang kebetulan tinggal dilingkungan kami.

Anggota GAM lari tunggang langgang. Yang tinggal hanyalah anak-anak, kaum ibu dan lelaki non GAM. Semua rumah digeledah dengan tanpa etika. Yang tidur dibangunkan dengan ujung senapan. Para lelaki yang tersisa nampak ketakutan.

Perempuan dewasa mondar-mandir di setiap pintu rumah. Mereka sedang memproteksi keluarganya dari bahaya. Kemanapun anggota brimob berjalan (di dalam rumah)selalu diikuti. Setiap ada yang membentak, kaum ibu selalu saja balas memaki. Bahkan tak jarang ada yang menyebut Brimob sebagai pencuri yang tak tahu diri.

Saya masih ingat, ibu saya dengan gagah berani berdiri di depan pintu sambil berkata “Tidak ada GAM dirumah ini. GAM sudah lari semua,” 

Brimob itu tidak menjawab. “yang di dalam anak-anak saya. Bukan GAM. Jangan sampai mereka terluka,” Tambah ibu saya. 

Lain lagi tingkah seorang ibu muda. Saat suaminya diangkut dalam truk reo. Dia mengejar. Dengan gagah berani dia memang baju salah seorang brimob. Disibaknya nama yang disembunyikan dibalik penutup kantong baju.

“Saya catat nama bapak dan kesatuan bapak. Suami saya bukan GAM,” Katanya dengan wajah tak ramah.

Brimob itu tersenyum. Dia menjawab : “Silahkan bu. Nanti sore suami ibu kami bebaskan,” 
Saat konflik mendera Aceh, perempuan di daerah ini telah menjelma menjadi warga kelas satu. Mereka seringkali menjadi protector bagi keamanan keluargnya dari ancaman siapapun. Walau seringpula gertakan kaum ibu dianggap angin lalu. Tapi setidaknya mereka telah menunjukkan keberanian yang tidak pernah dimiliki oleh lelaki.

Perlawanan kaum hawa bukan tanpa resiko. Banyak diantara mereka yang dibunuh. Disiksa. Diperkosa bahkan ada yang dihilangkan. Tapi seperti kata pepatah, patah satu tumbuh seribu. Perempuan terus bertumbuh menjadi semacam benteng bagi keamanan keluarga di Aceh.

Di sisi yang lain, ditengah perang, mereka tetap harus mencari makan bagi keluarganya. Mereka tetap memasuki hutan-hutan dan perkebunan pedalaman hanya untuk melanjutkan kelangsungan keturunan yang diwariskan oleh kaum lelaki.Tak ada yang mengeluh. Walau raut wajah mereka nampak lelah. 

Tapi adakah perempuan dihargai? Saya belum melihat gelagat itu. Bahkan banyak lelaki yang gagal melihat pengorbanan kaum hawa. Posisi mereka tetap direndahkan dengan berbagai label yang menyakitkan.

Pasca damai saya menemukan banyak kasus perempuan diceraikan hanya karena adanya gossip bila ketika suaminya naik gunung,sang istri berselingkuh dengan aparat keamanan. Juga banyak yang diceraikan karena dianggap sudah tidak cantik lagi. 

Dari sector pendidikan pun demikian. Anak perempuan selalu dinomor duakan. Pendidikan bagi mereka dianggap tidak penting. Sebab setinggi apapun perempuan sekolah, akhirnya akan kembali ke kasur,dapur dan sumur.

Para lelaki gagal memahami bahwa mereka sendiri pun demikian adanya. Setinggi apapun mereka sekolah, toh akhirnya kembali juga sebagai teman tidur, teman mandi dan teman lainnya bagi perempuan. Para lelaki lupa bahwa tanpa wanita mereka bukan siapa-siapa.

Saat ini kita sudah bisa melihat hasil dari pendisreditan perempuan. Kehancuran akhlak anak bangsa hari ini, dikarenakan pengabaian terhadap peningkatan SDM kaum ibu. Perempuan –dengan segala perannya- dianggap tak perlu terlalu diberdayakan. Padahal ini anggapan yang keliru.

Tidak ada satu nash Quran pun yang menyatakan bahwa perempuan boleh dianggap sebagai warga kelas dua. Bahkan Islam telah mewanti-wanti bahwa perempuan adalah madrasatul ula bagi anak bangsa. Ibu yang diciptakan bodoh oleh manusia, akan melahirkan dan mengasuh anak bangsa yang berpotensi bodoh di masa depan.

Seorang ibu yang kebetulan punya keluarga yang mernghargai wanita, kepada penulis pernah berkata “Sulit sekali menjadi ibu di Aceh. Disatu sisi dimaki bila anaknya berbuat salah. Tapi disisi yang lain jarang diberikan kesempatan untuk menjadi orang yang berpendidikan,” 

Seorang ibu yang lain pernah berkata bahwa lelaki di Aceh (secara umum) masih selalu gagal memahami wanita. Mereka berperilaku lembut hanya saat butuh sesuatu. Itupun hanya sesaat. Bila hajatnya selesai, perempuan langsung kembali dimaki.


“Bila ada lelaki yang beranggapan bahwa perempuan telah dikehendaki oleh alam untuk menjadi warga kelas dua. Itulah lelaki bodoh dalam makna yang sebenarnya. Mereka adalah manusia yang sesat cara pandangnya,” ucap seorang ibu yang kini memilih menjanda karena suaminya kawin lagi dengan perempuan yang lebih muda. [] 

By Muhajir Djuli
Previous Post Next Post

نموذج الاتصال