Surat kepada Presiden RI dari seorang warga nengara yang Nasionalis

Kehadapan Yang Mulia Paduka baginda Presiden Republik Indonesia.


Di Istana Negara peninggalan penjajah Belanda di Batavia.

Baginda Presiden yang saya muliakan. Akhir-akhir ini, saya –sebagai warga negara yang baik- mulai gelisah. Hal ini tak lain dan tak bukan dikarenakan semakin nyata saja bagi saya bahwa negara yang ada pimpin ini menzalimi kami –yang pada faktanya- mayoritas di negeri ini. Bahkan dalam menjalankan ajaran kami dengan sempurna, haruslah seizin pengelola negara yang katanya nasionalis.

Lalu apa arti nasionalis itu? Dalam wikipedia dijelaskan bahwa arti nasionalis adalah: adalah satu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuahnegara (dalam bahasa Inggris nation) dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia.

Sudah hampir 30 tahun saya hidup dibawah bendera Merah Putih dan jargon nasionalisme yang digembar-gemborkan oleh elit Jakarta. Namun semakin nyata saja bagi saya bahwa seolah-olah nasionalis itu telah menjelma menjadi agama baru yang harus kami patuhi tanpa boleh melawan, dalam makna mengkritik saja tidak boleh.

Tuan Presiden yang saya muliakan.

Sebagai putera Aceh, yang lahir dan besar ditanah yang telah menjadi tulang punggung Indonesia dimasa lampau –mungkin juga sampai hari ini- saya adalah saksi sejarah bahwa Islam dianaktirikan. agama “nasionalis” dikedepankan. Semua harus berazaskan Pancasila, yang dalam berbagai hal telah mengebiri hak-hak kami sebagai muslim.

Larangan berjilbab bagi siswi muslim. Larangan berjilbab bagi guru muslim. Adalah hal-hal yang dimasa lalu merupakan sebuah perihal yang tidak bisa kami lawan. Karena resikonya akan berhadapan dengan pilihan: Lepas jilbab atau hilang pekerjaan. Bila lancang mulut kami mempertanyakan bagian mana dari Pancasila yang melarang kaum perempuan kami berjilbab, maka jawabannya adalah penjara. Bahkan bisa dibunuh karena dianggap menghina wibawa negara.

Tuan Presiden yang saya muliakan.

Rakyat memilih anda karena dengan sebuah harapan. Dimasa anda akan ada perubahan yang signifikan. Baik itu dari sisi sosial, budaya maupun agama. Walau kami juga tahu bahwa anda bukanlah Ulil Amri terbaik yang dimiliki oleh negeri ini. Namun dalam kondisi darurat, andalah yang terbaik saat itu.

Ada semacam keinginan dari kami yang muslim, agar anda dalam setiap kebijakan, untuk turut serta mempertimbangkan bahwa negeri ini didiami oleh mayoritas muslim. Baik itu yang berpaham aswaja, pembaharu maupun lainnya. Menurut hasil sensus tahun 2010, 87,18% dari 237.641.326 penduduk Indonesia adalah pemeluk Islam, 6,96% Protestan, 2,9% Katolik, 1,69% Hindu, 0,72% Buddha, 0,05% Kong Hu Cu, 0,13% agama lainnya, dan 0,38% tidak terjawab atau tidak ditanyakan. (Sumber: Wikipedia).

Terlepas pada kenyataan bahwa dari 87,18 persen tersebut terbagi lagi dalam golongan abangan (Islam KTP-pen) maupun yang memahami Islam dan menjalankan syariatnya dengan benar.

Saya akui bahwa founding father tidak mendirikan negara ini atas dasar Islam. Nasionalis keindonesiaan diusung sebagai alasan untuk mempersatukan nusantara. Tapi apakah dengan jumlah yang mayoritas tersebut, hak-hak kami sebagai muslim tidak bisa dihargai? Apakah dengan jargon nasionalisme itu, kami harus menjadi orang lain?

Sebagai anak bangsa yang baik, saya tidak menuding Yang Mulia Tuan Presiden sebagai agen neolib dan sebagainya. Bahkan saya menyakini bahwa anda adalah figur muslim yang baik. Tapi kebaikan sebagai muslim itu, belum nyata kepermukaan.

Bapak Presiden yang baik. Terlepas anda tidak menjalankan syariat agama di keluarga anda sendiri. Karena itu hak anda sebagai salah seorang warga negara di republik yang gamang menentukan identitas diri. Tapi saya berharap agar kebijakan anda mampu memberikan ruang bagi kami untuk mengimplementasikan nilai-nilai Islam dengan sebenarnya.

Jujur, saya tidak pernah mengetahui ada agama baru yang bernama nasionalis. Karena bagi saya itu sekedar pandangan bernegara. Namun apakah pandangan itu harus meruntuhkan nilai-nilai ajaran agama kami (Islam).

Beruntung saya dilahirkan dan besar di Aceh. Karena Jakarta tidak sangat lancang di daerah ini terkait persoalan penerapan syariat Islam. Tapi bagaimana dengan daerah lain di Indonesia? Haruskah mereka angkat senjata seperti kami, baru Jakarta memberi ruang? 

Di akhir tulisan ini, saya hendak mengatakan bahwa: Pak Jokowi. Indonesia adalah negara sekuler. Benar memang demikian. Tapi haruskah nilai-nilai sekuler itu menabrak keyakinan kami yang mayoritas? Bila jawaban anda dan para politisi senayan adalah iya. Maka memerangi anda dan Jakarta adalah sebuah kewajiban bagi kami yang muslim. Tak ada agama nasionalis. Yang ada Islam –bagi kami- serta Khatolik, Protetetan, Hindu, Budha, Kajawen dll bagi orang lain. Setara bukan berarti tidak boleh berbeda. Bersatu bukan berarti harus tunduk pada aturan yang merendahkan martabat agama. 

Tulisan ini tidak bermaksud memprovokasi rakyat Indonesia. Tapi sebagai masukan bagi anda, bahwa kami yang selalu dituduh intoleransi, padahal kami berjumlah banyak dan tidak pernah melenyapkan siapapun disini, termasuk “agama” nasionalis versi kaum hedonis di pusat kekuasan. []

Dari seorang warga nengara yang Nasionalis Muhajir Djuli


Previous Post Next Post

نموذج الاتصال