Kisah Yahcut Adnan di terjang Tsunami

Beranda Aceh 06-01-2015 - Peringatan 10 tahun tsunami di Aceh baru saja selesai. Sudah banyak pembangunan kembali di daerah tersebut, dan menutup tahun 2014, Kismullah, seorang dosen dari Universitas Syiah Kuala Banda Aceh yang sedang menempuh pendidikan doktor di Universitas Deakin Melbourne menulis kisah Adnan, yang bangkit kembali setelah tsunami menerjang desanya 10 tahun lalu.
Tsunami 2004 menyisakan beribu kisah. Kali ini ada kisah dari Leupueng, di pesisir barat Aceh. Dari lebih sepuluh ribu jumlah penduduknya, hanya sekitar tujuh ratus jiwa yang selamat di daerah ini.
“Sehelai benang pun tak tersisa di badan saya,” kenang Yahcut Adnan ketika saya wawancarai. Setelah hampir setengah jam dia digulung dan dihempas ombak tsunami, dengan sedikit tenaga yang tersisa dia berhasil memegang di dahan sebatang pohon manggis di kaki gunung Lamteh, Leupueng, Aceh Besar. Dia melempar pandangannya ke arah desanya di Lamseuniya. Sejauh matanya memandang tidak seorang manusia pun ada yang terlihat.
Yahcut adalah penggilan akrabnya, sebuah kata panggilan dalama bahasa Aceh yang maknanya paman.
“Sebatang rumput pun tak terlihat,” katanya. Yang terlihat hanya mayat-mayat yang bergelimpangan, ikan-ikan ukuran besar terdampar di darat yang sekarang tertutup dengan pasir mirip lumpur hitam. Rumah-rumah panggung yang merupakan bentuk rumah umumnya di Leupueng tak satu pun terlihat lagi. Yang ada hanya puing-puing seperti atap seng yang sudah berpencar kemana-mana dan sekali-sekali memantulkan sinar matahari yang mulai semakin terang.
Kemudian dia merasa getir yang menyesakkan dada membayangkan kepedihan yang harus dialami anak-anak beserta istrinya yang tidak mampu melawan dan memangkan pergumulan dengan dahsyatnya arus air pekat yang menyapu tanpa ampun wilayah pesisir pantai barat ini.
Sambil terus melafalkan ayat-ayat suci di mulutnya, dia kembali mendapatkan sedikit lagi kekuatan yang hanya cukup untuk turun dari pohon manggis dimana dia tersangkut. Sekujur badannya luka-luka akibat goresan benda-benda yang sempat menyentuh dan menghantamnya selama pergumulan di dalam air.
Siang harinya, Yahcut Adnan bertemu dengan beberapa orang yang selamat dari desanya. Hanya sekitar 11 orang dari 300 jumlah penduduk di Desa Lamseuniya. Selama 20 hari kemudian dia terus mencari keberadaan dua putri dan satu orang putranya. Pencariannya terkadang diiringi oleh rasa sedih dan terpuruk sampai berpengaruh ke psikologisnya juga.
Malam-malam dia terbangun berharap bisa bertemu jin atau malaikat yang bisa menunjukkan keberadaan anak-anaknya. Sampai-sampai suatu kali dia sempat berhalusinasi seolah seseorang datang dan berbisik “Yang tertinggal hanya imanmu sekarang. Relakanlah.”  Akhirnya memang dia harus merelakan kepergian mereka tanpa sedikitpun penyesalan walaupun kehilangan anak-anaknya adalah kehilangan separuh jiwa dan semangat hidupnya.

Yahcut Adnan (kiri) bersama para peneliti tsunami dari Jepang (Istimewa)
Yahcut Adnan (kiri) bersama para peneliti tsunami dari Jepang (Istimewa)
Yahcut Adnan yang saat itu berumur limapuluhan tahun adalah Imam Mukim di Leupueng. Dia sadar betul akan hal ini dan tidak boleh berlama-lama terbawa perasaan. Sebagai seorang pemuka masyarakat dia ingin berapa orang pun yang tersisa, harus bangkit kembali untuk membangun.
Semangat Yahcut Adnan ini menjadi gambaran semangat masyarakat Leupueng saat itu yang hanya tinggal dalam bilangan puluh.
Yahcut Adnan mengkoordinir tawaran-tawaran bantuan yang ada dan berusaha agar bisa digunakan sebaik-baiknya untuk kepentingan bersama bukan hanya untuk kepentingan individu. Apa pun yang dia lakukan yang dipikirkannya adalah bagaimana terus memupuk kebersamaan warganya.
Tidak jarang dia mengusahakan proyek-proyek yang ada agar bisa langsung dikerjakan oleh masyarakat tanpa melibatkan kontraktor tertentu. Misalnya, Yahcut Adnan bersama Kepala Desa, Syamsuddin, dan Sekretarisnya, Suhaimi, melakukan advokasi agar pembangunan infrastruktur jalan desa bisa dikerjakan secara partisipatif oleh masyarakat.
Dengan begitu dia bukan hanya menumbuhkan kebersamaan sesama warga tetapi juga memberdayakan ekonomi dan mata pencaharian masyarakatnya yang sudah tidak lagi menentu setelah musibah tsunami tersebut.
Yahcut Adnan terus menyibukkan dirinya dengan kegiatan-kegiatan rekonstruksi dan recovery pasca tsunami, baik di tingkat kecamatan maupun di tingkat kabupaten. Dengan begitu dia juga sedikit demi sedikit bisa mengurangi sedihnya karena kehilangan keluarga.

Yahcut Adnan (tengah) bersama para peneliti dari Unsyiah dan ADB berbincang mengenai pembangunan kembali Aceh pasca tsunami. (Istimewa)
Yahcut Adnan (tengah) bersama para peneliti dari Unsyiah dan ADB berbincang mengenai pembangunan kembali Aceh pasca tsunami. (Istimewa)
Dalam kiprahnya membangun masyarakat Yahcut Adnan tak luput dari berbagai permasalahan. Dia harus mendamaikan dan mendiskusikan solusi untuk konflik antar warganya. Dia juga harus berurusan dengan aparat karena dibenturkan dengan beberapa kontraktor lokal. Dia juga menjadi penengah dan berperan sebagai pemberi pemahaman kepada masyarakat disaat merebaknya isu misi penyebaran agama lain dalam masyarakat di tengah gencarnya kadatangan lembaga-lembaga asing.
Sebagai salah seorang pemuka masyarakat, kewajibannya adalah membantu dan memfasilitasi organisasi-organisasi kemanusiaan dan pendidikan yang datang menawarkan ide pembangunan, termasuk AusAID, ADB, dan UN Habitat saat itu.
Sebenarnya kesedihan Yahcut Adnan bukan hanya kesedihan karena kehilangan keluarganya saja. Tapi sebagai sebuah masyarakat, Leupueng banyak sekali kehilangan kaum perempuan.
"Kami di Leupueng banyak korban yang perempuan. Jadi, kami yang selamat kawin dengan wanita dari luar Leupueng.”
Untuk melanjutkan kehidupan, menurut Yahcut, para laki-laki yang selamat dari Tsunami ini harus berkeluarga dengan wanita-wanita dari luar Leupueng; meskipun ini bukan tradisi masyarakat Leupueng.
Yahcut Adnan adalah seorang yang bijak dan peka terhadap tradisi dan budaya. Dia melihat ragam bahasa di Leupueng yang unik, adalah satu-satunya yang tertinggal setelah segalanya dihempas tsunami. Dengan kehadiran wanita-wanita dari luar dia prihatin bahwa ragam bahasa Leupueng ini bisa kandas di generasi anak-anak yang lahir pasca tsunami ini.
Yahcut Adnan sendiri berkeluarga kembali di tahun 2006 setelah bertemu dengan seorang wanita berdarah Sunda. Sekarang dia dikarunia dua orang anak. Anak pertamanya sekarang sudah mau naik kelas 2 SD.
“Fahrul tetap bahasa Leupueng kalau dia ngomong,” ia menjelaskan dengan bangga. Meskipun istrinya orang Sunda, bahasa Aceh anaknya masih menyisakan logat Leupueng. “Anak-anak lain banyak yang sudah tidak menggunakan lagi logat Leupueng ini.” Lanjutnya menggambarkan fenomena bahasa anak-anak yang lahir pasaca tsunami di Leupueng.
Sebenarnya, kekhawatiran Yahcut hal yang sangat wajar. Sebagai masyarakat matrilokal, wanita mempunyai peran yang sangat penting untuk meneruskan bahasa, budaya dan tradisi ke generasi selanjutnya.
Terkait dengan ini, anda mungkin pernah mendengar dan masih ingat dengan cerita dari Pulau Simeulu, pulau yang paling dekat dengan epicentrum gempa yang menyebabkan tsunami di tahun 2004 ini. Walaupun diterjang ombak tsunami yang begitu besar, jumlah korban meningggal di Pulau Simeulu hanya satu dua orang saja. Ini berkat tradisi buai (senandung tidur) di masyarakat Simeulu yang terus hidup sebagai bentuk penyampaian pengetahuan dari generasi ke generasi tentang apa yang mereka sebut ‘Smong’ (tsunami). Isi senandung tersebut mengajarkan agar mencari tempat yang lebih tinggi dikala terjadi gempa besar. Inilah yang menyelamatkan Masyarakat Simeulu. Yang menyanyikan senandung ini adalah para ibu yang ada dalam masyarakat saat meraka menidurkan anak-anaknya.
Bagi Yahcut Adnan, apapun yang tersisa harus diselamatkan dan dijaga, dirawat, dan disimpan dalam ingatan untuk disampaikan ke generasi penerus. Walaupun kehilangannya dalam tsunami begitu besar dan menyisakan duka yang mendalam, dia tidak mau berlarut-larut dalam kesedihan. Dia terus bersyukur bisa terus melanjutkan kehidupan barunya dan berharap Leupueng yang lebih cerah di masa depan.
Kismullah, Kandidat PhD Deakin, meneliti tentang dinamika bahasa pasca tsunami, mantan Communication Assistant, Tsunami and Disaster Mitigation Research Centre, Universitas Syaih Kuala di Banda Aceh.
Previous Post Next Post

نموذج الاتصال