REKONSILIASI TGK AGAM DAN Eks Mualim MUZAKIR MANAF

Beranda Aceh 07-01-2015 - Wacana rekonsiliasi dalam kontek kehidupan kenegaraan seringkali diidentikkan dengan sebuah dinamika politik, dalam konteks yang lebih luas rekonsiliasi tidak hanya berlaku dalam kontek dinamika politik saja tetapi lebih meyeluruh memesuki segala dimensi kehidupan sosial mulai dari rekonsiliasi antara sebuah keluarga yang bertikai sampai pada wilayah muamalah. Dalam tulisan ini rekonsiliasi lebih terfokus pada pembahasan tentang dinamika kehidupan politik, di mana kita akan menyorot kemungkinan rekonsiliasi politik antara dua kubu kekuatan politik local yang berasal dari wadah yang sama yaitu dua kubu mantan Kombatan GAM yang sekarang mengkristal dalam dua partai politik local di Aceh yaitu Partai Aceh (PA) dan Partai Nasional Aceh (PNA) yang selama ini berseteru. 

Memang untuk sebuah langkah politik yang diambil tidak pernah terlepas dari pro dan kontra ada yang mendukung begitu juga sebaliknya akan ada yang menentang, tetapi jika semua mau berfikir untuk kemashlahatan bersama yang dilandasi pada pemikiran bahwa kedua kubu kekuatan politik local di Aceh tersebut sama-sama berjuang untuk mensejahterakan rakyat Aceh, maka rekonsiliasi atau setidaknya penghentian permusuhan adalah sebuah keniscayaan. mengapa demikian? karena konflik hanya akan menambah penderitaan rakyat yang belum sepenuhnya sembuh dari penderitaan yang diakibatkan oleh perang TNI dan TNA yang sebelumnya berkecamuk dan Alhamdulillah telah berakhir dengan damai. Jika dengan fihak Jakarta kita bisa berdamai meski tetap berseberangan dalam persoalan politik, lantas mengapa dengan saudara sendiri tidak???

Dalam rangka mewujudkan rekonsiliasi tersebut tentunya dibutuhkan inisiatif (itikad) baik dari masing-masing kubu karena jika tidak ada yang menginisiasi maka mustahil bisa terwujud yang namanya rekonsiliasi tersebut, dalam konteks Aceh hari ini rekonsiliasi akan terwujud bila ada fihak yang mau “memulai” langkah menuju ke arah sana, baik dari PA maupun dari PNA.

Dalam sebuah kesempatan Irwandi Yusuf yang merupakan salah satu tokoh sentral yang menggawangi PNA telah memperlihatkan indikasi untuk kembali merajut rekonsiliasi dengan saudaranya yang berada di kubu PA, untuk berbaik sangka kita (anggap saja) ini sebagai langkah politik Irwandi untuk menyatukan kembali kekuatan politik local (khusunya mantan kombatan GAM) yang sempat berseberangan, untuk sama-sama bergandengan tangan memakmurkan rakyat Aceh.

 “Saudara-saudari, pilkada tahun 2012 penuh dengan intrik, intimidasi dan teror termasuk jatuh korban beberapa nyawa manusia. Hal ini semua terjadi karena pertarungan sengit antara 2 kubu mantan kombatan. Sebenarnya hal tersebut tidak perlu terjadi jika demokrasi berjalan dengan benar di negara kita. Mari kita lupakan pilkada 2012 dan saling memaafkan untuk menyongsong masa depan Aceh yang lebih baik. Sekarang kita sedang menuju pilkada 2017/2018. Nasib kesejahteraan rakyat Aceh kembali dipertaruhkan. Agar rakyat aman tenteram dan dapat mengejar kembali sejahtera yang tertunda, maka saya mohon masukan dari saudara-saudari: Andai saya (Irwandi Yusuf) berpasangan dengan saudara Muzakir Manaf”

Demikianlah lebih kurang tulis Irwandi Yusuf dalam sebuah status Facebook nya, sepintas tulisan itu adalah tulisan ringan, tapi jika mau dicermati secara lebih seksama dan lebih serius, kita dapat mengambil beberapa hal yang mungkin sangat penting dan sangat pantas untuk kita fikirkan bersama. 

Mengapa demikian? 

Pertama, yang mengeluarkan pernyataan seperti itu adalah seorang Irwandi Yusuf yang tidak lain merupakan sosok yang pernah menjadi orang nomor satu di Aceh, dia salah satu politikus papan atas di Aceh yang bisa dikatakan paling potensial dan sangat pantas untuk diperhitungkan untuk kembali mengisi posisi Aceh 1 alias gubernur, hal ini tidak terlepas dari kapasitas dan pengalaman Irwandi Yusuf yang sudah pernah terbukti mampu berbuat untuk Aceh (setidaknya dari sudut pandang saya).

Kedua, Pernyataan tersebut kembali mengingatkan kita bahwa pilkada Aceh 2012 yang berlangsung dengan penuh intrik, intimidasi dan teror termasuk jatuh korban beberapa nyawa manusia. Hal ini semua terjadi karena pertarungan sengit antara dua kubu mantan kombatan. Dalam konteks ini Irwandi Yusuf mewakili salah satu pihak yang terlibat perseteruan tersebut yang sekarang mengkristal dalam wadah Partai Nasional Aceh, sementara di sisi lain Muzakkir Manaf merupakan representasi dari pihak yang berseberangan dengan kubu Irwandi saat itu yang bernaung di bawah wadah Partai Aceh yang akhirnya memenangkan “perseteruan dua saudara” tersebut dan sekarang masih memegang kendali Pemerintahan Aceh.

Ketiga, dalam pernyataan tersebut Irwandi menuliskan “Mari kita lupakan pilkada 2012 dan saling memaafkan untuk menyongsong masa depan Aceh yang lebih baik”. Sejatinya ini merupakan pernyataan yang luar biasa yang hanya bisa keluar dari orang-orang hebat yang berjiwa negarawan, kenapa demikian? Karena “sebagai pihak yang kalah” butuh jiwa besar untuk memaafkan dan membuka kembali “pintu” rekonsiliasi yang terlihat pernah tertutup begitu rapat. Luar biasa itulah kata-kata yang layak untuk mengapresiasikan pernyataan tersebut. selain itu dalam kalimat di atas juga bisa difahami bahwa rekonsiliasi sangat penting untuk mensejahterakan rakyat Aceh, setidaknya menyelamatkan rakyat Aceh dari pertikaian dengan saudara sendiri yang sangat menyengsarakan dan merugikan Aceh secara keseluruhan.

Di sisi lain kedua kubu yang sempat berseteru tersebut sejatinya sama-sama punya kans untuk maju secara terpisah, misalnya Irwandi Yusuf bisa saja menggandeng partai politik lain semisal NasDem dan beberapa partai lainnya untuk maju tanpa harus berkoalisi dengan Partai Aceh dalam hal ini kubu Muzakkir Manaf, begitu juga sebaliknya pihak Muzakkir Manaf dengan kekuatan PA sebagai partai dengan jumlah kursi terbesar di DPR Aceh sekarang ini bisa saja tetap maju terpisah tanpa harus berkoalisi dengan saudara mudanya PNA. Namun, jika kedua kubu “nekad” untuk tetap maju secara terpisah maka “tragedi buruk 2012” dikhawatirkan akan kembali terulang atau bahkan jauh lebih buruk yang pada akhirnya akan memperpanjang penderitaan rakyat Aceh dan akan semakin memperlemah “nilai tawar” Aceh di mata Indonesia, mengapa? Karena dua kubu kekuatan politik local di Aceh tetap bertahan dengan Ego masing-masing dan dalam hal ini bukan tidak mungkin Indonesia malah akan berharap demikian adanya sehingga mereka bisa mencuri kesempatan untuk kembali mengambil alih kendali politik di Aceh, sungguh tragis bukan?

Atas dasar itulah saya berharap kali ini kedua kubu PA dan PNA bisa “menguburkan” ego masing-masing demi menyelamatkan Aceh dan juga menyelamatkan perjuangan panjang yang pernah dilakukan dengan begitu melelahkan, dengan korban jiwa, harta dan tentunya waktu juga sehingga Aceh menjadi tertinggal seperti hari ini. Cukup sudah saudaraku, begitulah kira-kira pesan yang harus kita sampaikan kepada kedua fihak.

Mari kita “menyongsong masa depan Aceh yang lebih baik. Sekarang kita sedang menuju pilkada 2017/2018. Nasib kesejahteraan rakyat Aceh kembali dipertaruhkan. Agar rakyat aman tenteram dan dapat mengejar kembali sejahtera yang tertunda” demikian lanjut Irwandi Yusuf, dari kalimat tersebut tersurat jelas bahwa masih ada harapan jika kedua kubu PA dan PNA mampu mengalahkan ego masing-masing demi Rakyat Aceh, maka kesejahateraan yang selama ini ditunggu rakyat Aceh akan kembali bisa atau setidaknya akan lebih mungkin dan mudah untuk diwujudkan.

Hal ini didasarkan pada beberapa alasan, pertama Jika PA dan PNA bisa berekonsiliasi kembali maka kekuatan politik Aceh akan kembali utuh (meskipun beda partai) dan hal ini setidaknya akan membuat Jakarta kembali memperhitungkan Aceh dalam konteks hubungan Aceh jakarta, karena rakyat Aceh telah bersatu kembali, disisi lain jika rekonsiliasi terwujud maka akan lebih bisa untuk menjamin bahwa pemilu yang akan berlangsung akan dapat berjalan dengan lebih baik, aman dan nyaman untuk semua, mengingat selama ini kedua kubu tersebut sering kali terlibat perseteruan sengit yang pada akhirnya akan merusak kenyamanan rakyat Aceh secara keseluruhan.

Kedua, Jika kedua kubu PA dan PNA kembali bersatu maka saya bisa mengatakan bahwa kemungkinan memenangkan Pilkada jauh lebih besar dibandingkan dengan jika kedua kubu terpisah, bahkan bisa dikatakan jika PA dan PNA bersatu “mustahil” untuk dikalahkan oleh kekuatan politik manapun.

Ketiga, Jika kedua kubu PA dan PNA bersatu, maka harapan untuk mewujudkan kemakmuran bagi rakyat Aceh akan semakin mudah, mengingat pengalaman masing-masing pihak yang sama-sama pernah berjuang sama-sama dan merasakan sakit sama-sama, serta juga dilengkapi dengan pengalaman masing-masing dalam memimpin Aceh dalam periode yang berbeda yaitu Irwandi Yusuf 2006-2011 dan Muzakkir Manaf 2012-2017, kiranya dengan pengalaman yang begitu lengkap tersebut bisa dikatakan mereka telah sangat memahami persoalan yang dihadapai rakyat Aceh, selanjutnya tinggal  bagaimana kedua fihak PA dan PNA mau duduk bersama untuk sama-sama memikirkan solusi yang bisa dirumuskan menjadi program-program unggulan untuk sesegera mungkin bisa memerdekakan rakyat Aceh dari Jajahan kemiskinan, kebodohan dan berbagai ketertinggalan lainnya.

Diuntungkan dengan keberadaan Irwandi Yusuf

Tekad untuk memakmurkan Rakyat Aceh sangat didukung dengan Kapasitas Irwandi Yusuf yang bisa dikatakan sudah sangat teruji sebagai gubernur yang pernah “berhasil” memimpin Aceh berjuang keras keluar dari trauma konflik dan tsunami di masa kepemimpinannya. Meski tidak maksimal namun kehidupan rakyat Aceh mulai dan terus membaik, Pemerintah Aceh dalam periode Irwandi Yusuf tergolong sukses membenahi kehidupan rakyat Aceh, di bawah komando Irwandi-Nazar pemerintah Aceh berhasil melahirkan beberapa terobosan semisal lahirnya Program JKA untuk memperbaiki taraf Kesehatan rakyat Aceh, adanya pembangunan rumah Dhuafa yang mulai menjawab persoalan rakyat Aceh yang tidak memiliki tempat tinggal yang layak, adanya program Beasiswa untuk pelajar Aceh terutama beasiswa ke luar negri dan juga beasiswa kusus kepada anak yatim yang umumnya anak para penjuang, yang menjadi solusi untuk meningkatkan taraf pendidikan rakyat Aceh. Sehingga tingkat IPM rakyat Aceh mulai membaik.

Dilengkapi dengan pengaruh Muzakkir Manaf

Sepeninggal Irwandi Yusuf, mulai tahun 2012 Aceh beralih di bawah komando ZIKIR (Zaini-Muzakkir), meski pertumbuhan atau pembangunan di Aceh bisa dibilang masih jalan di tempat (setidaknja menurut saya) padahal kedua lembaga pemerintahan di Aceh dikuasai GAM baik Legeslatif (sisa periode 2009) dan hasil pemilu 2014 maupun Eksekutif yang direbut lagi di pilkada 2012. Namun hal ini tidak terlepas dari perpecahan yang  terjadi di tubuh pemerintah Aceh. Ketidak akuran Zaini & Muzakkir yang semakin kentara, dilanjutkan dengan perebutan pengaruh kedua kubu (Zaini-Muzakkir) diparlemen yang ikut berperan menghambat pembangunan di Aceh, dalam hal ini Muzakkir Manaf bisa dikatakan mewakili golongan kombatan murni yang berjuang di Aceh di masa konflik dan pada akhirnya terlihat bahwa sepertinya Muzakkir Manaf punya wibawa lebih besar dikalangan mantan Kombatan GAM khususnya.

Sehingga pengalaman Muzakkir sebagai wakil gubernur ditasbihkan oleh kenyataan  bahwa Muzakkir Manaf bisa mengendalikan mantan kombatan di Aceh khususnya dan juga Partai Aceh, hal ini menjadi salah satu keuntungan bagi kemajuan Aceh. Mangapa demikian? karena orang yang bisa mengendalikan PA dan PNA telah sama-sama bekerja untuk memakmurkan rakyat Aceh secara umum dan juga para mantan kombatan yang pernah bejuang yang bernaung dibawah kedua kubu tersebut.

Nah jika harapan ini tersambut, duet Irwandi Yusuf-Muzakkir Manaf terwujud maka saya yakin masa depan Aceh akan sepenuhnya berada di tangan Aceh, karena inilah pasangan Aceh Bersatu yang sesungguhnya. Jika kita mau mengaca dari pengalaman (semoga kita bisa belajar dari kesalahan sebelumnya) dan segala persoalan maju mundurnya pertumbuhan pembangunan di Aceh pasca Koflik di bawah komando ACEH (Irwandi-Nazar dan Zaini-Muzakkir), sehingga jika kita mau berbenah dengan belajar dari penyebab terjadinya kemunduran dan berbagai hal yang dapat mendukung kemajuan Aceh, maka di 2017 atau 2018 nanti saya berharap agar kedua kubu GAM yaitu PA dan saudaranya PNA bisa kembali akur demi melanjutkan perjuangan untuk memerdekakan rakyat Aceh dari kemiskinan, kebodohan dan segala ketertinggalan lainnya.

Saya memperkirakan jika kedua kubu memang benar-benar berjuang untuk rakyat sebagaimana yang digaungkan dari masa perang hingga masa damai, maka kedua kubu akan meninggalkan ego pribadi dan kelompok DEMI RAKYAT ACEH. Dan tentunya kita semua harus belajar dari pengalaman jangan sampai pecah di tengah jalan yang membuat pemerintahan mejadi tidak berhasil. Jika harapan saya terealisasi maka saya optimis duet Irwandi Yusuf dengan Muzakkir Manaf bisa dijadikan komando baru untuk memerdekakan rakyat Aceh dari ketertinggalan baik dari sektor ekonomi, pendidikan maupun kesehatan dan infrastruktur lainnya yang dapat membuat rakyat Aceh merasakan kemerdekaan yang telah lama di idam-idamkan.  Tapi itu semua tidak mudah karena permasalahan yang dialami Aceh, khusunya persoalan antara kedua kubu PA dan PNA dan Aceh umumnya sungguh sudah sangat kronis, butuh waktu, kedewasaan, kekompakan, keseriusan, kecerdasan, kesungguhan, keikhlasan dan kesabaran dari semua element masyarakat Aceh tentunya.

Akhirnya kita berharap jika rekonsiliasi PA dan PNA dapat terwujud semoga kali ini Aceh (dengan kekuatan politik local) dapat mensejahterakan rakyat Aceh, bukan lagi berjuang untuk pribadi dan kelompok, jikapun rekonsiliasi kedua kubu gagal terwujud setidaknya kali ini tidak terlihat lagi "perang" saudara antara dua kubu politik di Aceh (PA dan PNA) sehingga rakyat aceh bisa hidup nyaman, aman dan sejahtera dan akhirnya kita sama-sama bisa berteriak.

MERDEKAAAAAAA!
(Dari kebodohan, kemiskinan dan ketertinggalan lainnja) Semoga!

Jika tidak maka cepat atau lambat Rakyat akan berpaling dari kekuatan politik local dan Jakarta (Indonesia) akan kembali mengambil Alih kekuasaan politik di Aceh.

Kita lihat saja nanti…!

PENULIS Muhammad Ramadhan Al-Faruq
Previous Post Next Post

نموذج الاتصال