Menjoë Kon Ië mandum Leuhoep Menjoë Kon Droë MANDUM Gop,"KRONI DI ACEH"

BERANDA ACEH 20-01-2015 - “Banyaknya kasus yang menyeret beberapa pejabat negara seperti halnya Gubernur Banten Ratu Atut, dia terjerat dan diseret ke meja hijau dengan kasus Korupsi dan Nepotisme. Saat ini Gubernur Aceh ingin mengikuti jejak Mantan Gubernur Banten Ratu Atut, yang mana sanak keluarganya terjerat kasus korupsi dan nepotisme. Abu Doto panggilan akrab dikalangan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) mengatakan, kelakuan Gubernur Aceh sudah kelewat batas dan bicaranya pun Plin-plan. Pasalnya Gubernur Zaini pernah meminta KPK untuk mengusut kasus korupsi di Aceh. Namun dipihak lain, Gubernur Zaini justru melakukan nepotisme dengan mengangkat sanak keluarga (family) di perusahaan daerah, seperti PDPA, tim ESDM dan BPKS” Demikian tulis Jefrry Watumena di KOMPASIANA.

Duh…parah ya? Apa sih nepotisme itu? Bolehkah?

Dalam wikepedia kata Nepotisme diartikan lebih memilih saudara atau teman akrab berdasarkan hubungannya bukan berdasarkan kemampuannya. Kata ini biasanya digunakan dalam konteks pemerintahan (birokrasi) di mana seorang pemimpin dalam pemilihan pejabat atau pembantunya didasarkan atas pertimbangan kedekatan keluarga atau berdasarkan hubungan darah atau dengan istilah lain saya menyebutnya berdasarkan kronolobi. Kronoloby berasal dari kata Kroni dan Lobbi, artinya penentuan atau penunjukan pejabat untuk menempati suatu jabatan berdasarkan kedekatan dan lobi busuk lainnya, artinya bukan didasarkan atas kompetensi yang dibutuhkan untuk jabatan terkait.

Allah SWT berfirman yang artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil, dan berbuat kebaikan, serta memberi bantuan kepada kaum kerabat dan melarang daripada melakukan perbuatan-perbuatan yang keji dan mungkar serta kezaliman. Ia mengajar kamu (dengan suruhan dan larangan-Nya ini), supaya kamu mengambil peringatan mematuhi-Nya”. (QS. An-Nahl: 90).

Dalam Ayat di atas secara instruksional kita dapat melihat bahwa ada perintah yang diikuti oleh larangan. Yang pertama “Allah menyuruh berlaku adil, dan berbuat kebaikan, serta memberi bantuan kepada kaum kerabat” kemudian Allah melarang perbuatan-perbuatan yang keji dan mungkar serta kezaliman.

Terkait dengan Nepotisme sejatinya tidaklah dilarang, seandainya tidak menimbulkan kemungkaran dan kedhaliman, misalkan dalam sebuah struktur pemerintahan (public) seorang pemimpin sah-sah saja menunjuk pejabat yang berasal dari keluarga dekatnya, asalkan memenuhi kompetensi dan berbagai persyaratan yang dibutuhkan untuk menjalankan tanggung jawab yang akan didelegasikan kepadanya, lantas jika “kerabat” yang ditunjuk tidak memenuhi kompetensi yang dibutuhkan, maka akan menghambat kinerja pemerintahan yang “secara langsung atau tidak” akan menghambat pemenuhan hak public dan hal ini tergolong dalam mungkar dan kedhaliman, jika demikian adanya maka Nepotisme (penempatan orang dekat) tersebut menjadi terlarang.

Dengan kata lain jika yang diserahi tugas itu adalah kerabat dekat dari orang yang memberi tugas, bukanlah menjadi persoalan. Yang penting apakah orang tersebut memenuhi persyaratan atau tidak. Jadi prinsip yang ditanamkan dalam Islam adalah soal kompetensi seseorang atas sesuatu jabatan, bukan ada tidaknya hubungan kekerabatan. Kalaupun sekiranya pemangku sebuah jabatan adalah keluarga dari pemimpin yang berkuasa untuk menunjuknya, selama orang tersebut berkompeten/berhak dan tidak ada pihak-pihak yang merasa dizalimi, maka hal itu tidaklah menjadi persoalan Seperti yang tersirat dalam ayat Al-Qur-an diatas.

Seharusnya Kompetensi Menjadi Acuan Utama Pemilihan Pejabat.

Rasulullah SAW bersabda: "Jika amanat telah disia-siakan, tunggu saja kehancuran terjadi." Ada seorang sahabat bertanya; ‘bagaimana maksud amanat disia-siakan? ‘Nabi menjawab; "Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu." (Hr.Bukhari). Secara instruksional bisa kita pahami bahwa, Rasulullah SAW menginstruksikan agar kita menyerahkan sebuah pekerjaan pada orang yang tepat, jika tidak maka tunggulah kehancurannya”.

Jadi dalam rangka mencari orang yang tepat untuk memangku sebuah jabatan harus benar-benar didasarkan pada pertimbangan Kompetensi atau keahlian yang dibutuhkan untuk jabatan terkait, baik dalam mutasi atau bongkar pasang pejabat, maupun dalam penunjukan pejabat baru dalam sebuah struktur pemerintahan, sehingga kinerja pemerintahan benar-benar dapat berjalan maksimal.

Misalkan untuk menjabat kepala dinas pendidikan maka harus benar-benar orang yang kompeten untuk mengurus pendidikan, untuk menjadi kepala dinas bina marga haruslah orang-orang yang paham dan mampu bekerja untuk malaksanakan pembangunan di daerah terkait, sehingga kinerja pemerintah dapat lebih maksimal dan rakyat juga akan mendapatkan keadilan.

Seharusnya setiap pejabat yang ditunjuk harus mengacu pada criteria-kriteria objektif artinya pemilihan harus benar-benar mengacu pada kompetensi, hal ini hanya bisa diwujudkan jika dalam setiap penunjukan pejabat tersebut dilakukan dengan mengacu pada dasar-dasar TRANSPARANSI, AKUNTABILITAS dan pertimbangan BAPERJAKAT. Untuk mendukung hal “good governance” tersebut dalam proses recruitment atau setidaknya dalam “menentukan” sosok yang akan dipromosikan untuk mengemban amanah untuk meningkatkan perform pemerintah harus dilakukan secara fair yaitu dengan membentuk suatu tim independent yang bebas dari tekanan dan kepentingan politik kelompok tertentu, kemudian terbuka saja, siapa berminat “merasa” pantas dan sanggup silakan daftar, lalu lakukan fit and proper test seperti yang pernah dilakukan Irwandi Yusuf.

Namun demikian, setelah melakukan serangkaian uji kelayakan tersebut maka baru “dicampuri” atau disesuaikan dengan selera pemimpin tentunya dari sosok-sosok yang telah melewati dan memenuhi criteria yang dibutuhkan “bukan yang diinginkan”  karena dalam hal ini tidak bisa dinafikan juga bahwa sang kepala pemerintahan juga punya “selera” tersendiri, tapi bukan dengan mengabaikan aspek atau unsur-unsur yang “lebih” urgen sesuai dengan jabatan terkait, untuk meningkatkan kinerja pemerintahan. Seperti kapasitas, kapabilitas dan kualitas yang sesuai dengan criteria “good governace” itu sendiri,  dengan kata lain penunjukan pejabat itu harus dilakukan dengan fair, proporsional dan professional yaitu dengan melibatkan public “terbuka” bukan malah dengan lobi-lobi “gelap para kroninya”. Apa lagi dilatari “tekanan” atas bawah, “bisikan busuk” kiri kanan, hubungan darah dan berbagai “alasan” yang tidak objektif lainnya.

Intinya penunjukan kerabat sebagai pejabat itu pada dasarnya bukan merupakan sesuatu yang “salah” asalkan dilakukan secara objektif dan proporsional.

Bahkan bisa dikatakan “Nepotisme lebih berbahaya darapada korupsi” mengapa demikian? Karena meskipun korupsi sudah diberantas, tapi jika masih ada kolusi dan nepotisme, maka korupsi masih akan muncul kembali.

Semoga pejabat yang dipilih pemimpin kita untuk mengisi semua jabatan dipemerintahan benar-benar bukan atas dasar pertimbangan NEPOTISME, melainkan benar-benar didasarkan atas KOMPETENSI sehingga dapat memberikan dampak positif terhadap kinerja pemerintah yang pada akhirnya akan meningkatkan kemakmuran rakyat!

Penulis Muhammad Ramadhan
Previous Post Next Post

نموذج الاتصال