Antara makruh dan boleh Piep ie mom Prumoh teuh

BERANDA ACEH - Memang terkadang muncul keraguan di sebagian suami tentang air susu istri yang tertelan suami saat berhubungan, apakah ia sama hukumnya dengan air susu ibu yang diminum oleh seorang anak susuannya?!

Sesungguhnya persyaratan susuan yang menjadikannya orang yang menyusu itu anak dari ibu susuannya adalah sebagai berikut :

1. Susuan tersebut terjadi pada usia-usia di antara dua tahun pertama dari usia anak yang menyusu darinya. Dan jika seandainya usia yang menyusu itu di atas dua tahun maka tidaklah menjadikannya haram untuk dinikahi, ini adalah pendapat jumhur ulama berdasarkan sabda Rasulullah saw, ”Tidak ada rodho’ (susuan) kecuali diantara usia dua tahun.” (HR. Daruquthni dari Ibnu Abbas).

Imam Malik menambahkan dari masa dua tahun itu dengan dua bulan dikarenakan masa dua bulan ini dibutuhkan bagi anak itu sebagai masa transisinya dari mengkonsumsi susu kepada makanan lain. Hal itu apabila anak itu tidak disapih sebelum masa dua tahun sedangkan apabila ia sudah disapih dan makan makanan kemudian menyusu maka susuannya itu tidak menjadikannya sebagai mahram.

Imam Abu Hanifah menentukan masa susuan itu adalah dua tahun setengah. Setengah tahun itu adalah masa transisi bagi anak itu untuk berpindah dari mengkonsumsi susu kepada makanan yang lainnya.

2. Hendaklah anak itu menyusu sebanyak lima susuan secara terpisah sebagaimana kebiasaan, dimana anak itu meninggalkan puting susunya dengan kehendaknya tanpa adanya halangan seperti bernafas, istirahat sejenak atau sesuatu yang terjadi secara tiba-tiba sehingga menjadikannya lupa dari menyusu. Dalam hal ini tidak pula disyaratkan hisapan-hisapan tersebut harus mengenyangkannya, demikian pendapat para ulama madzhab Syafi’i serta pendapat yang paling kuat dari para ulama madzhab Hambali.

Terhadap orang dewasa yang sudah baligh dan berakal yang menyusu kepada seorang wanita maka jumhur ulama dari kalangan sahabat, tabi’in dan para fuqoha mengatakan bahwa tidak ada susuan yang menjadikannya mahram kecuali apabila terjadi pada saat ia masih kecil, meskipun terjadi perselisihan dalam penentuan batas usia anak kecil tersebut.

Diantara dalil-dalil yang dipakai jumhur adalah :

وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَن يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ

Artinya : “…..Selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan.” (QS. Al Baqoroh : 233)

Sabda Rasulullah saw, ”Sesungguhnya susuan itu hanyalah yang mengenyangkannya dari rasa lapar.” (HR. Bukhori Muslim) artinya susu yang diminumnya itu mengenyangkannya dan ia tidak memiliki makanan selainnya. Tentunya orang yang sudah dewasa tidaklah termasuk didalamnya terlebih lagi hadits ini menggunakan kata-kata hanyalah. (al Fiqhul Islami wa Adillatuhu juz IX hal 6637 – 6638)

Dengan demikian air susu istri yang tertelan oleh suaminya saat berhubungan tidaklah menjadikannya haram untuk berhubungan dengannya, tidak pula menjadikannya sebagai anak dari istrinya itu serta tidak pula berpengaruh apa-apa terhadap pernikahan mereka.

Pada masa-masa haidh dan nifas pun hal itu tetap diperbolehkan bagi kedua pasangan tersebut, sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Haram bin Hakim dari pamannya bahwa dia bertanya kepada Rasulullah saw,”Apa saja yang dihalalkan bagiku terhadap istriku pada saat dia haidh?’ beliau saw menjawab,’Bagimu apa yang berada diatas sarung..” (HR. Abu Daud)

Hadits terebut memerintahkan bagi suami yang ingin menggauli istrinya pada saat haidh adalah pada bagian diatas pusar karena dikhawatirkan akan terjadi persetubuhan pada kemaluannya jika apa yang dibawah pusar juga diperbolehkan terutama bagi mereka yang tidak bisa mengendalikan gejolak syahwat didalam dirinya, sebagaimana sabda Rasulullah saw,”Maka barangsiapa yang mengitari daerah larangan maka dikhawatirkan ia akan jatuh kedalamnya.” (HR. Bukhori Muslim)

Namun apabila dia mampu mengendalikan gejolak syahwat didalam dirinya dan meyakini apabila dia ‘bermain’ dengan yang dibawah pusar atau bahkan diantara dua paha serta tidak jijik dengan bercak-bercak darah yang mungkin terlihat disekitar kemaluan istrinya maka hal itu diperbolehkan selama tidak memasukkan kemaluannya kedalam kemaluan istrinya, sebagaimana hadits Rasulullah saw,”Pebuatlah sesuai kehendakmu kecuali nikah (memasukkan kemaluanmu kedalam kemaluan istrimu).” (Hr Muslim dan Abu Daud)

Menyentuh, mencium atau menyedot puting susu istrinya hingga menelan air susunya adalah bagian daripada ‘bermain-main’ didalam bersetubuh seperti halnya terhadap bagian-bagian tubuh lainnya yang dapat menambah kenikmatan bagi kedua pasangan itu sehingga tidaklah ada larangannya. Karena itu semua termasuk didalam batas-batas yang diperbolehkan selama tidak pada duburnya.

Dari Abu Yusuf berkata, ”Aku pernah bertanya kepada Abu Hanifah tentang seorang yang memegang kemaluan istrinya dan istrinya menyentuh kemaluan suaminya untuk bergerak-gerak diatas kemaluannya apakah menurutmu ini tidak boleh?

Abu Hanifah menjawab, ”Boleh, dan aku berharap hal itu dapat menambah pahala yang merupakan investasi baginya.” (Roddul Mukhtar juz 26 hal 388)

Lalu bagaimana hukumnya jika suami minum air susu isteri, sedangkan dalam Fiqih kita ketahui adanya konsep radha’ah, dimana ketika seorang bayi sudah pernah menetek atau menyusu kepada seorang wanita, maka wanita tersebut dan juga anaknya menjadi mahram (wanita yang haram dinikahi)?

Pendapat Para Ulama. Dibolehkan bagi suami untuk menghisap puting istrinya. Bahkan hal ini dianjurkan, jika dalam rangka memenuhi kebutuhan biologis sang istri. Sebagaimana pihak lelaki juga menginginkan agar istrinya memenuhi kebutuhan biologis dirinya.

Madzhab Hanafiah berselisih pendapat. Ada yang mengatakan boleh dan ada yang menghukumi makruh.

Dalam Al-Fatawa al-Hindiyah (5/356) disebutkan, “Tentang hukum minum susu wanita, untuk laki-laki yang sudah baligh tanpa ada kebutuhan mendesak, termasuk perkara yang diperselisihkan ulama belakangan.”

Dalam Fathul Qadir (3/446) disebutkan pertanyaan dan jawaban, “Bolehkah menyusu setelah dewasa? Ada yang mengatakan tidak boleh. Karena susu termasuk bagian dari tubuh manusia, sehingga tidak boleh dimanfaatkan, kecuali jika terdapat kebutuhan yang mendesak.”

Syaikh Muhammad bin Sholeh al-Utsaimin mengatakan: “Menyusui orang dewasa tidak memberi dampak apapun, karena menyusui seseorang yang menyebabkan adanya hubungan persusuan adalah menyusui sebanyak lima kali atau lebih dan dilakukan di masa anak itu belum usia disapih. Adapun menyusui orang dewasa tidak memberikan dampak apapun. Oleh karena itu, andaikan ada suami yang minum susu istrinya, maka si suami ini tidak kemudian menjadi anak sepersusuannya.”

Analisis dan Kesimpulan. Dalam konsep radha’ah sebagaimana saya singgung di atas, bayi yang disusui bisa menjadi mahram (haram dinikahi) bagi yang menyusui dan juga anak-anaknya. Namun, hanya terbatas pada manusia yang sudah berumur 2 tahun tahun hijriyah.

Allah Berfirman dalam QS. An-Nisa, ayat (23):
Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu yang menyusui kamu.

Tidak akan disebut ibu kecuali kalau yang menyusu masih kecil atau bayi. Batasan kecil disini adalah dua tahun hijrah. Adapun dasarnya adalah firman Allah swt dalam QS. Al-Baqarah, ayat (233):

Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan pernyusuan.

Namun menurut saya, untuk lebih hati-hati adalah sebaiknya suami tidak minum susu istri dengan sengaja. Alasannya:

Para ulama berselisih mengenai hal ini. Sedangkan dalam kaidah fiqhiyyah disebutkan: Al-khuruuj minal khilaf mustahabbun. Keluar dari perselisihan ulama itu lebih baik. Karena tidak ada manfaatnya atau urgensinya suami meminum air susu isterinya.
Perbuatan ini menyelisihi fitrah manusia. Karena yang menyusui itu adalah bayi dan bukanlah suami yang sudah tidak bayi lagi.
Tapi jika menyangkut hukumnya, sebagaimana disinggung di atas, suami yang pernah minum susu istrinya, tidaklah menyebabkan dirinya menjadi anak persusuan bagi istrinya. wa Allahu a’lam..

Sumber Hukum Islam
Previous Post Next Post

نموذج الاتصال