Beranda aceh 23-01-2015 - Tulisan ini sebenarnya sudah pernah dimuat di wall FB penulis, tapi saya selalu merasa tertarik setiap kali aku baca tulisan ini. Karena sudah begini jelas perincian, masih juga ada orang yang gak ngerti isi MoU antara GAM dan RI. Kini kami update sekali tulisan ini, agar yg belum mengerti tentang MoU bisa lebih mengerti lagi. selamat membaca dan semoga anda mendapat sedikit pencerahan.
Aku menulis karena merasa letih, kasihan, dan kecewa. Letih melihat pembodohan publik yang dilakukan oleh elite politik PA di Aceh. Kasihan melihat rakyat yang tak mengerti mengapa setelah penandatanganan MoU Helsinki justru kita kita sibuk bertikai sendiri di dalam.
Aku menulis karena merasa letih, kasihan, dan kecewa. Letih melihat pembodohan publik yang dilakukan oleh elite politik PA di Aceh. Kasihan melihat rakyat yang tak mengerti mengapa setelah penandatanganan MoU Helsinki justru kita kita sibuk bertikai sendiri di dalam.
Kecewa dengan tidak adanya kedewasaan dalam berpolitik, dimana
siapapun yang tidak sepaham dianggap sebagai pengkhianat perjuangan. Tak ada
lagi nilai-nilai persaudaraan yang dulu terasa begitu kental di Aceh. Seakan
kini ada motto baru yang begitu pekat menggantung di udara: “Musuhmu adalah
orang yang berseberangan pandangan politik denganmu, walaupun itu teman
sebantal tidur.” Lalu, masihkah kita berbicara tentang damai Aceh?
Independen vs Parlok
Hawa panas mulai berhembus setelah keluar Keputusan Mahkamah
Konstitusi RI Nomor 35/PUU-VIII/2010 yang mencabut Pasal 256 UU 11/2006,
sehingga Komisi Independen Pemilu (KIP) Aceh membolehkan calon perseorangan
untuk dapat mendaftar sebagai calon Gubernur/ Wakil Gubernur, Bupati/Wakil
Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota.
Keputusan MK untuk mengakomodir calon perseorangan dengan menganulir
Pasal 256 UUPA dianulir ternyata menuai protes keras dari elite Partai Aceh
(PA) dan DPRA.
Ketua Partai Aceh, Muzakir Manaf dalam konferensi persnya pada hari Jumat,
7 Oktober 2011 di Banda Aceh mengatakan bahwa PA tidak ikut mendaftarkan
kadernya baik untuk Calon Gubernur/Wakil Gubernur maupun Calon Bupati/Walikota
dan Calon Wakil Bupati/Wakil Walikota di seluruh Aceh apabila Presiden
mengambil keputusan pilkada tetap dilanjutkan sesuai tahapan yang telah
ditetapkan KIP Aceh. Dan hal ini memang dibuktikan. Hingga batas akhir penutupan
waktu pendaftaran yang ditetapkan oleh KIP yaitu tanggal 7 Oktober 2011 pukul
00.00, PA memang tidak mendaftarkan kadernya, baik untuk tingkat Provinsi
maupun Kabupaten/Kota.
Untuk
menghindari kesalahpahaman perlu dijelaskan bahwa UUPA itu adalah Undang-Undang
RI untuk Aceh, bukan Undang-Undang yang dibuat oleh Pemerintah Aceh. Di naskah
aslinya tertulis UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG
PEMERINTAHAN ACEH. UUPA itu bukan Undang-Undang atau konstitusi Aceh. Itu UU
yang diberikan Pemerintah RI untuk Aceh dalam melaksanakan MoU Helsinki. Jadi
rujukannya harus ke MoU itu.
Apa kata MoU
Helsinki tentang calon independen? Menurut MoU Helsinki, berapa kali sebenarnya
calon independen boleh maju dalam Pilkada Aceh? Mari kita lihat point-point MoU
tersebut.
MoU Helsinki Article
1.2 Political participation (partisipasi politik)
1.2.2 Upon the
signature of this MoU THE PEOPLE OF ACEH will have the right to nominate
candidates for the positions of all elected officials to contest the election
in Aceh in April 2006 AND THEREAFTER.
1.2.2 Deungon
geutanda-djaroe Nota Saban-Muphom njoe, BANSA ATJEH na hak peutamong tjalon-tjalon
peudjabat njang akan geupileh uleh rakjat dalam peumilehan umum di Atjeh bak
buleuen April 2006 DAN UKEUE NJAN LOM.
1.2.2 Dengan
penandatangan Nota Kesepahaman ini, RAKYAT ACEH akan memiliki hak menentukan
calon-calon untuk posisi semua pejabat yang dipilih untuk mengikuti pemilihan
di Aceh pada bulan April 2006 DAN SELANJUTNYA.
MoU Helsinki
Klausa 1.2.2 menggunakan kata RAKYAT ACEH, dan sama sekali tidak menyebut kata ‘Partai’.
Rakyat Aceh adalah setiap penduduk Aceh, Warga Negara Republik Indonesia yang
memenuhi syarat untuk dipilih dan memilih menurut Undang-Undang yang berlaku
dalam NKRI. Dalam klausa ini jelas disebutkan "Pemilu 2006 dan SELANJUTNYA,"
jadi bukan hanya untuk satu kali.
Lalu mengapa
dalam Pasal 256 UUPA tertulis calon independen hanya berlaku satu kali? Pada
saat perumusan RUUPA kita mendesak agar isinya disesuaikan dengan MoU Helsinki.
Namun pihak Pemerintah kuatir karena calon independen belum pernah ada di
Indonesia nantinya Pasal 256 UUPA itu akan digugat oleh pihak lain dan dibawa
ke Mahkamah Konstitusi sehingga batal dan akibatnya tak ada sama sekali calon
independen di Aceh. Maka disepakatilah bahwa calon independen hanya
diperbolehkan sekali di Aceh. Bila tidak ada yang menggugat maka Pasal 256 UUPA
akan direvisi kembali isinya sesuai MoU.
Merujuk Pasal 256 UUPA mengenai calon
independen, MK kemudian melakukan judicial
review UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. MK saat itu
menilai bahwa calon independen merupakan jalan bagi setiap warga untuk ikut
dipilih dalam pesta demokrasi (pilkada) dengan acuan UUPA. Sehingga lahirlah
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 5/PUU-V/2007.
Dengan adanya amandemen UU No. 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang telah diubah sebanyak dua kali dan
terakhir yaitu UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua UU No. 32 Tahun
2004, maka sesuai ketentuan Undang-Undang tersebut pelaksanaan Pemilukada
dengan keikutsertaan calon independen telah diakui secara nasional.
Kini pada saat judicial
review Pasal 256 UUPA, MK kembali menjadikan Putusan Mahkamah Konstitusi
No. 5/PUU-V/2007 sebagai pertimbangan dalam judicial review UUPA. Dalam
putusan MK menyatakan Pasal 256 UUPA tidak mempunyai kekuatan hukum yang
mengikat dan meyatakan pasal tersebut bertentangan dengan konstitusi.
Berdasarkan putusan tersebut maka pintu demokrasi Aceh dalam pelaksanaan
Pemilukada terbuka kembali untuk mengikutsertakan calon independen. Keputusan
MK bersifat final dan mengikat.
Mengutip pernyataan Ketua
DPP Partai Aceh (PA) Muzakir Manaf yang dimuat Harian Serambi Indonesia tanggal
8 Oktober 2011 dengan judul Muzakir: Harusnya Parlok Jadi Kendaraan Independen:
“Keberadaan sejumlah
partai lokal di Aceh seharusnya sudah mewakili aspirasi independen untuk maju
dalam bursa Pilkada Aceh 2011. Kami memutuskan tidak ikut Pilkada 2011. Tapi
kalau calon independen ditiadakan, kami (PA) akan maju. Salah satu alasan
diperbolehkannya Aceh mendirikan partai lokal adalah untuk menampung aspirasi
independen. Keberadaan partai lokal memang sengaja dibentuk untuk dijadikan
kendaraan politik masyarakat Aceh untuk maju sebagai pemimpin. Jadi kenapa
sekarang masih ada independen, kan sudah banyak partai lokal berdiri. Kenapa
tidak menggunakan itu.”
Parlok ya parlok,
independen ya independen. Jika parlok jadi kendaraan independen, ya bukan
independen lagi namanya. Karena tentang Parlok dan Independen dituangkan dalam
klausa yang terpisah dalam MoU. Dan tidak disebutkan bahwa calon independen
nantinya akan bergabung dalam parlok.
Klausa MoU Helsinki
tentang Parlok
1.2.1 Sesegera mungkin, tetapi tidak lebih dari
satu tahun sejak penandatanganan Nota Kesepahaman ini, Pemerintah RI
menyepakati dan akan memfasilitasi pembentukan partai-partai politik yang
berbasis di Aceh yang memenuhi persyaratan nasional. Memahami aspirasi rakyat
Aceh untuk partai-partai politik lokal, Pemerintah RI, dalam tempo satu tahun,
atau paling lambat 18 bulan sejak penandatanganan Nota Kesepahaman ini, akan
menciptakan kondisi politik dan hukum untuk pendirian partai politik lokal di
Aceh dengan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Pelaksanaan Nota
Kesepahaman ini yang tepat waktu akan memberi sumbangan positif bagi maksud
tersebut.
Menurut klausa 1.2.1.
di atas, partai lokal terbagi dua:
Yang pertama, partai
lokal yang berbasis nasional, dengan persyaratan seperti yang berlaku terhadap
parnas, misalnya mempunyai perwakilan di tiap provinsi dengan jumlah anggota
sekian. Kantor Pusat tetap di Provinsi Aceh, dan mempunyai wakil di DPR RI.
Yang kedua, partai lokal
murni. Bertempat di Provinsi Aceh, dan mempunyai wakil di DPRA. Inilah PA yang
sekarang.
Jadi jelas,
antara Partai Lokal dan Calon Independen saling terpisah, dan eksistensinya
diakui oleh Undang-Undang yang berlaku di Indonesia.
PA, DPRA vs
MK
Banyak sekali
pasal-pasal UUPA yang bertentangan dengan MoU Helsinki. Pihak GAM sejak awal
sudah memprotes isi UUPA yang banyak bertentangan dengan MoU Helsinki melalui
surat Malik Mahmud tertanggal 12 Juni 2007 (merujuk surat sebelumnya tertanggal
21 Agustus 2006) yang ditujukan kepada Presiden RI, tembusan kepada kepada CMI,
AMM, EU, dan Irwandi Yusuf selaku Gubernur Aceh. Pemerintah RI (SBY-Jusuf
Kalla) telah berkali-kali berjanji akan mengamandemen penyimpangan-penyimpangan
yang terdapat dalam UUPA supaya lebih sesuai dengan MoU Helsinki dalam waktu
2-3 tahun, namun sampai 5 tahun berlalu hal itu tidak dilaksanakan.
Yang lucunya
saat MK menganulir Pasal 256 UUPA untuk mengakomodir calon independen seperti
yang telah disepakati dalam MoU Helsinki yang merupakan rujukan UUPA, malah
kita sendiri yang seperti kebakaran jenggot, sibuk protes kesana kemari, bikin
demo besar-besaran, menolaknya. Marah karena Pusat mempreteli dan dianggap
menodai kesucian UUPA.
Padahal kalau
UUPA yang sekarang disakralkan, tidak boleh diubah-ubah, maka berbagai hal lain
yang merugikan Aceh (mis: soal pembagian hasil, soal ganti rugi untuk harta
pribadi yang musnah dalam masa konflik, soal hubungan melalui darat dan laut ke
seluruh dunia, soal peradilan HAM, KKR, soal peran militer di Aceh, dll.) akan
turut kekal juga.
Kalau UUPA
tidak bisa dikutak katik lagi mengapa selalu mengatakan UUPA tidak sesuai
dengan MoU Helsinki dan mesti direvisi?
Ini argumen
yang tidak logis, tapi juga marah kalau diprotes, seperti pernyataan Muzakir
Manaf saat jumpa pers pada tgl. 7 Oktober 2011 yang menganggap dianulirnya
Pasal 256 UUPA dinilai sebagai peristiwa buruk yang kemungkinan besar akan
terulang kembali.
“Ini adalah sebuah wujud nyata bahwa tak ada
jaminan UUPA yang merupakan dasar perjuangan berlanjut. Bahkan PA menyadari
bahwa ini adalah upaya pertama yang dilakukan dengan rapi untuk merontokkan
UUPA. Jika kali ini berhasil dengan mulus, maka kelak satu persatu pasal-pasal
penting di dalamnya akan dipangkas. Hingga kemudian roh UUPA akan tercerabut
dan menjadikannya sekumpulan kertas tanpa makna.”
See what I
mean? Dulu saat isi Pasal 256 UUPA tidak sesuai MoU protes, sekarang sudah
disesuaikan malah menolak, seperti sikap Pimpinan tertinggi GAM yang berbalik
arah 180 derajat. Bersama dengan elite politik PA dan DPRA, memprotes Judicial
Review Mahkamah Konstitusi terhadap Pasal 256 UUPA dengan alasan hilang marwah
UUPA bila pasal demi pasal dipreteli satu persatu. Tidak masuk akal, karena
Keputusan MK berdasarkan tuntutan penggugat yang menggunakan thema
‘diskriminasi’. MK tidak bisa membatalkan apapun yang tidak bertentangan dengan
UUD 1945.
Seharusnya kita
patut berterima kasih karena MK telah mengembalikan hak rakyat Aceh untuk
memilih calon independen sesuai dengan isi MoU Helsinki klausa 1.2.2. Ini
marwah SELURUH RAKYAT ACEH, bukan marwah sekelompok orang yang bergabung dalam
partai.
Lain lagi halnya
dengan DPRA yang merasa merasa kehilangan marwah karena dikangkangi oleh MK
yang tidak melakukan konsultasi terlebih dahulu dengan DPRA saat melakukan
judicial review terhadap Pasal 256 UUPA. Protes pun dilayangkan ke pusat,
sampai ke Presiden.
Seharusnya mereka
baca lagi isi MoU Helsinki.
1 Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh
1.1. Undang-Undang tentang penyelenggaraan pemerintahan di Aceh
1.1.2 Undang-Undang baru tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di
Aceh akan didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut:
a) Aceh akan
melaksanakan kewenangan dalam semua sektor publik, yang akan diselenggarakan
bersamaan dengan administrasi sipil dan peradilan, KECUALI dalam bidang hubungan
luar negeri, pertahanan luar, kemanan nasional, hal ikhwal moneter dan fiskal,
KEKUASAAN KEHAKIMAN dan kebebasan beragama, dimana kebijakan tersebut merupakan
kewenangan Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan Konstitusi;
b)
Persetujuan-persetujuan internasional yang diberlakukan oleh Pemerintah
Indonesia yang terkait dengan hal ikhwal kepentingan khusus Aceh akan berlaku
dengan konsultasi dan persetujuan legislatif Aceh,
c)
Keputusan-keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang terkait
dengan Aceh akan dilakukan dengan konsultasi dan persetujuan legislatif Aceh,
d)
Kebijakan-kebijakan administratif yang diambil oleh Pemerintah Indonesia
berkaitan dengan Aceh akan dilaksanakan dengan konsultasi dan persetujuan
Kepala Pemerintah Aceh.
Menurut MoU
Helsinki klausa 1.1.2 point b,c, dan d, yang perlu dikonsultasikan adalah
KEPUTUSAN POLITIK (oleh Eksekutif dan Legislatif). Sedangkan KEKUASAAN
KEHAKIMAN (Yudikatif ) adalah salah satu dari 6 kewenangan Pemerintah Pusat,
sesuai yang tercantum dalam MoU Helsinki Klausa 1.1.2 point a.
Bila DPRA tidak
mengerti mengenai isi MoU Helsinki mengapa tidak bertanya langsung pada juru
rundingnya? Selain Malik Mahmud dan Zaini Abdullah masih ada M. Nur Djuli,
Bakhtiar Abdulah, Nurdin Abdurrahman. Ditambah 4 anggota support team, yaitu:
Teuku Hadi, Munawar Liza Zainal, Shadia Marhaban, dan Irwandi Yusuf.
Bila tidak
mengerti, tanyalah pada ahlinya. Jangan seperti Fachrul Razi, Jubir PA yang
asal bicara saja di Harian Serambi Indonesia edisi 19 Oktober 2011.
“Sebagaimana
dalam Pasal 256 ayat 3, bahwa DPRA memiliki peran strategis yang diatur oleh
UUPA, untuk terlibat dalam perubahan UUPA.”
Ngaco aja.
Sejak kapan Pasal 256 UUPA ada ayat (3)? Pasal 256 menyebutkan bahwa calon
independen hanya sekali di Aceh. Titik. Gak ada ayat (2) apalagi ayat (3).
Peran strategis
DPRA yang diatur oleh UUPA untuk terlibat dalam perubahan UUPA itu terdapat pada
BAB XL KETENTUAN PENUTUP, Pasal 269 ayat (3) yang berbunyi: “Dalam hal adanya
rencana perubahan Undang-Undang ini dilakukan dengan terlebih dahulu
berkonsultasi dan mendapatkan pertimbangan DPRA.”
Fachrul Razi
mesti membaca lagi MoU Helsinki klausa 1.4.1. Pemisahan kekuasaan antara
badan-badan legislatif, eksekutif dan yudikatif akan diakui. Juga klausa 1.1.2
karena yang menyangkut kekuasaan kehakiman merupakan kewenangan Pemerintah RI.
MK mempunyai kekuasaan Yudikatif.
Jubir PA
sebaiknya berhenti membuat statement-statement yang menyesatkan masyarakat sehingga
masyarakat terpancing dan terus-menerus menyalahkan Pusat.
“Bahkan
Presiden dapat mengumumkan Darurat Perang Negara. Presiden dapat menggantikan
Menteri apalagi Gubernur. Jadi apabila permasalahan konflik pilkada tidak dapat
ditunda oleh Presiden, itu hal yang mustahil.”
Coba
baca lagi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2005 tentang
Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah.
Alahai gam, ka droe bangai bek peubangai gob.
Tulisan Nurlina
Alahai gam, ka droe bangai bek peubangai gob.
Tulisan Nurlina
Tags
Opini