Dana KOLOR, BH dan DASTER dihapus

BERANDA ACEH BANDA ACEH - Badan Anggaran DPRA bersama Tim Anggaran Pemerintah Aceh (TAPA) akhirnya sepakat menghapus usulan dana aspirasi sejumlah anggota DPRA sebesar Rp 24 miliar untuk pengadaan hal-hal yang remeh temeh. Misalnya, pengadaan hibah baju daster, pakaian dalam wanita (CD dan BH), handuk, kain sarung, kain batik, mukena, jilbab, sajadah, baju koko, baju kaos, teratak, kursi, dan perlengakapan tempat makanan jenis prasmanan.

Kesepakatan itu dicapai saat Banggar DPRA dan TAPA menggelar pertemuan baru-baru ini untuk menyikapi hasil koreksi Menteri Dalam Negeri (Mendagri) terhadap RAPBA 2015. Total nilai dari item baju, sajadah, tararak, kursi dan lainnya itu mencapai Rp 24 miliar.

“Anggarannya kemudian dialihkan untuk pemenuhan kebutuhan anggaran urusan wajib yang belum terpenuhi. Misalnya, pendidikan, pemberdayaan perempuan, serta dana tanggap darurat yang masih sedikit,” kata Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Aceh, Prof Dr Abubakar Karim MS kepada Serambi, Kamis (26/2) di ruang kerjanya.

Menurut Abubakar Karim, usulan aspirasi anggota DPRA tentang hibah baju daster, pakaian dalam wanita, dan item lainnya itu mendapat sorotan dan kritikan tajam dari Tim Evaluasi APBD Mendagri dua pekan lalu. Saat itu, Tim Mendagri bertemu Banggar Dewan dan TAPA  di Jakarta untuk membahas hasil koreksi draf sementara Mendagri terhadap RAPBA 2015 senilai Rp 12,7 triliun yang telah disahkan DPRA pada 31 Januari 2015.

Tim Mendagri sempat mempertanyakan berapa banyak jumlah korban bencana alam atau kaum duafa di Aceh yang hendak diberi bantuan daster dan pakaian dalam wanita, kain sarung, handuk, baju koko dan lainnya. Pertanyaan itu muncul karena sejumlah item tersebut tercatat sebagai usulan aspirasi sejumlah Anggota DPRA. Angka sebesar Rp 24 miliar untuk “perkakas domestik” wanita dan item lainnya itu dinilai terlalu besar.

Lagi pula, dalam pemahaman Tim Evaluasi APBD Mendagri, total anggaran yang besar itu usulannya justru muncul dari Anggota DPRA, bukan kebutuhan riil untuk stok bencana alam yang diusul dinas teknis. Itu sebab Tim Mendagri melarangnya.Dalam SK koreksinya terhadap RAPBA 2015, Mendagri meminta anggaran itu dipindahkan untuk urusan wajib pemerintah yang anggarannya belum terpenuhi. Misalnya untuk anggaran pendidikan yang masih kurang 1 persen lagi atau senilai Rp 120 miliar. Pagu anggaran pendidikan Aceh dalam RAPBA 2015 baru ada Rp 2,413 triliun atau 19 persen dari total belanja RAPBA 2015 Rp 12,7 triliun. Sementara bendasarkan UU Pendidikan Nasional harus ada 20% atau senilai Rp 2,54 triliun.
Menurut Prof Abubakar Karim, Tim Mendagri saat itu juga menyarankan, anggaran pengadaan daster, pakaian dalam wanita, jilbab, mukena, dan lainnya yang tujuan peruntukannya bagi perempuan, dialihkan saja untuk tambahan anggaran pemberdayaan perempuan yang nilainya belum mencapai 1 persen.

Dalam RAPBA 2015, alokasi anggaran untuk pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak baru ada Rp 23,261 miliar. Tim Mendagri menyarankan, minimal bisa mencapai 1 persen dari pagu belanja RAPBA 2015 Rp 12,7 triliun, atau senilai Rp 120 miliar.

Abubakar Karim menilai fair dan proporsional larangan Mendagri untuk hibah pengadaan baju daster dan lain-lain itu. Apalagi, anggarannya kemudian diminta dipindahkan untuk program pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak.

“Program itu lebih memberikan manfaat bagi kaum perempuan dan anak. Soalnya, kalau sudah banyak perempuan yang ekonominya diberdayakan, maka mereka bisa beli sendiri baju daster dan pakaian dalamnya. Jadi, tidak perlu lagi menggunakan dana APBA, kecuali dalam kondisi bencana alam,” kata Kepala Bappeda Aceh itu.

Selain baju daster dan pakaian dalam wanita, kata Abubakar Karim, pengadaan tanah dan pagar kuburan, keranda, rangkang (pondok di sawah) pun disorot tajam oleh Tim Evaluasi APBD Kemendagri. Di dalam RAPBA 2015, nilai anggarannya juga cukup besar dan sangat tidak rasional. Contohnya, untuk pengadaan satu unit rangkang sawah diusulkan dananya Rp 100 juta. Begitu juga pengadaan tanah dan pagar kuburan, 100-200 juta rupiah.

Tim Kemendagri, kata Abubakar, sempat bertanya apakah masyarakat di Aceh sudah tak sanggup lagi membeli keranda dan tanah kuburan secara bergotong royong, sehingga harus menggunakan dana APBA? Pertanyaan terhadap hal-hal tersebut, kata Abubakar Karim, membuat TAPA dan anggota Banggar Dewan yang hadir dalam pertemuan itu tak bisa memberikan argumen yang kuat. Akhirnya disadari bahwa item-item tersebut, misalnya, pengadaan keranda dan tanah kuburan, sudah menjadi urusan umat di daerah setempat, sehingga tak memerlukan lagi campur tangan serta dana pemerintah.

Tim Mendagri minta puluhan miliar dana yang dialokasikan untuk beli tanah kuburan, pagar, dan jalan menuju kuburan itu, dipindahkan saja untuk urusan wajib pemerintah yang belum terpenuhi. Misalnya, untuk pendidikan dayah/pesantren dan lainnya.

Tidak hanya itu, ungkap Abubakar, usulan belanja hibah barang dan bantuan soal (bansos) lainnya dari aspirasi anggota dewan dan eksekutif yang mencapai Rp 1,8 triliun, juga dikoreksi Tim Mendagri.
Mereka sarankan agar usulan hibah barang dan bansos yang bukan menjadi kewenangan pemerintah provinsi, tapi merupakan kewenangan pemerintah kabupaten/kota dan pusat, anggarannya dihapus saja. Lalu dipindahkan untuk tambahan belanja modal dan infrastruktur yang baru 16 persen, sementara idealnya minimal harus mencapai 30 persen.

Jadi, kata Prof Abubakar, koreksi yang dilakukan Tim Mendagri untuk RAPBA 2015 ini sangat banyak dan hampir di seluruh bidang. Mulai dari belanja tidak langsung, belanja langsung, belanja hibah, tak terkecuali bansos. (Tribun News)
Previous Post Next Post

نموذج الاتصال