TAU GAK KENAPA INDONESIA BAGIAN TIMUR MENOLAK PIAGAM JAKARTA

BERANDA ACEH - Tanggal 22 Juni mempunyai arti istimewa bagi bangsa Indonesia. Pada tanggal itu dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tercapai sebuah konsensus nasional dan gentlemen agreement tentang dasar negara Republik Indonesia. Piagam Jakarta merupakan rumusan kompromi antara pihak yang menganjurkan negara Islam dan pihak yang menginginkan negara persatuan nasional yang memisahkan urusan negara dengan urusan keagamaan.

Konsensus nasional yang mendasari dan menjiwai Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 itu dituangkan dalam suatu naskah yang oleh Mr. Muhammad Yamin disebut Piagam Jakarta atau Jakarta Charter. Titik kompromi dimaksud terutama tercermin dalam kalimat; negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat, dengan berdasar kepada ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, yang merupakan rumusan lima prinsip falsafah negara yang pertama yang oleh Soekarno dalam pidato 1 Juni 1945 dinamakan Pancasila.

Dokumen politik tanggal 22 Juni 1945 itu disusun dan ditanda-tangani oleh panitia kecil yang dibentuk oleh BPUPKI, terdiri oleh 9 orang pemimpin bangsa yang mewakili golongan kebangsaan (nasionalis sekuler), golongan Islam (nasionalis Islam), termasuk wakil dari golongan nasionalis Kristen yaitu:  Soekarno,  Mohammad Hatta,  A.A. Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdoel Kahar Moezakir, A. Salim, Achmad Soebardjo, Wachid Hasjim, dan Mohammad Yamin. Pada waktu itu Ir. Soekarno selaku pimpinan rapat dengan segenap kegigihannya mempertahankan Piagam Jakarta sebagaimana dapat dibaca dalam risalah sidang BPUPKI.

Diungkapkan oleh Prawoto Mangkusasmito dalam bukunya Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Negara dan Sebuah Proyeksi (1970), pada waktu Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan menutup sidangnya yang kedua dan terakhir pada tanggal 17 Juli 1945, selesailah diterima dengan sebulat-bulatnya oleh Badan itu rancangan-rancangan Pernyataan, Pembukaan dan Undang-Undang Dasar (UUD) Republik Indonesia.

Pemimpin Masyumi dan mantan Wakil Perdana Menteri itu lebih jauh menulis, timbul sekarang satu historische vraag, satu pertanyaan sejarah, apa sebab rumus “Piagam Jakarta” yang didapat dengan susah payah, dengan memeras otak dan tenaga berhari-hari oleh tokoh-tokoh terkemuka dari bangsa kita, kemudian di dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan pada tanggal 18 Agustus 1945 di dalam beberapa menit saja dapat diubah?

Dalam buku Sekitar Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 (Jakarta: Tintamas, 1969 hlm. 67- 68), Bung Hatta menceritakan apa yang dialaminya pada sore hari tanggal 17 Agustus 1945 yang dampaknya sangat menentukan bagi sejarah Republik Indonesia di kemudian hari.

“Pada sore harinya saya menerima telepon dari tuan Nisyijima, pembantu Admiral Mayeda menanyakan, dapatkah saya menerima seorang opsir Kaigun (Angkatan Laut), karena ia mau mengemukakan suatu hal yang sangat penting bagi Indonesia. Nishijima sendiri akan menjadi juru bahasanya. Saya persilakan mereka datang.”

“Opsir itu yang saya lupa namanya datang sebagai utusan Kaigun untuk memberitahukan dengan sungguh-sungguh, bahwa wakil-wakil Protestan dan Katolik dalam daerah-daerah yang dikuasai oleh Angkatan Laut Jepang, berkeberatan sangat terhadap bagian kalimat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar, yang berbunyi ‘Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’.”

“Mereka mengakui bahwa bagian kalimat itu tidak mengikat mereka, hanya mengenai rakyat yang beragama Islam. Tetapi tercantumnya ketetapan seperti itu di dalam suatu dasar yang menjadi pokok Undang-Undang Dasar berarti mengadakan diskriminasi terhadap golongan minoritas. Jika ‘diskriminasi’ itu ditetapkan juga, mereka lebih suka berdiri di luar Republik Indonesia.”

Setelah menerima ‘kabar penting’ itu, Hatta masih punya waktu semalam untuk berpikir. Karena opsir Angkatan Laut Jepang itu sungguh-sungguh menyukai Indonesia Merdeka yang bersatu sambil mengingatkan pula semboyan yang selama ini didengung-dengungkan ‘bersatu kita teguh dan berpecah kita jatuh’, perkataannya itu berpengaruh juga atas pandangan saya. Tergambar di muka saya perjuangan saya yang lebih dari 25 tahun lamanya, dengan melalui bui dan pembuangan, untuk mencapai Indonesia Merdeka bersatu dan tidak terbagi-bagi.

Karena begitu serius rupanya, esok paginya tanggal 18 Agustus 1945, sebelum sidang panitia Persiapan dimulai, saya ajak Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasjim,  Kasman Singodimedjo, dan Teuku Hasan dari Sumatera mengadakan suatu rapat pendahuluan untuk membicarakan masalah itu. Supaya kita jangan pecah sebagai bangsa, kami mufakat untuk menghilangkan bagian kalimat yang menusuk hati kaum Kristen itu dan menggantinya dengan ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’.

Pagi hari tanggal 18 Agustus, sebelum sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dimulai, Hatta mengundang para anggota Panitia yang dianggap termasuk kalangan Islam untuk meninjau kembali perumusan tentang kewajiban menjalankan syariat Islam itu. Dalam pertemuan dengan wakil-wakil Islam tadi, Hatta menjelaskan apa yang ia dengar dari perwira Jepang itu.

Tidak ada suatu protes atau pernyataan keberatan yang dilayangkan oleh para pemimpin Islam dalam sidang itu. Hatta tidak mengutamakan perumusan, baginya yang penting ialah agar masyarakat menjalankan ajaran agamanya. Mereka melihat Hatta sebagai pribadi yang bermoral tinggi, seseorang yang tidak akan mengelabui mereka. Mereka juga tidak mengingatkan sikap Maramis sebagai wakil golongan Kristen, yang telah menyetujui perumusan semula tentang syariat Islam itu.

Perubahan teks Pembukaan UUD 1945 dan beberapa pasal Batang Tubuh UUD berlangsung tanpa ganjalan disebabkan keberhasilan lobbi yang dilakukan oleh Hatta. Sedangkan Soekarno pada waktu itu tidak mau melibatkan diri bahkan menjauhkan diri dalam detik-detik yang menentukan itu dan dia hanya mengirim putera Aceh Mr. T.M. Hasan ke gelanggang lobbying.

Bung Hatta menyatakan dalam bukunya, “Pada waktu itu kami menginsyafi bahwa semangat Piagam Jakarta tidak lenyap dengan menghilangkan perkataan Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, dan menggantinya dengan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Hal-hal yang mengenai syariat Islam yang berhubungan dengan kepentingan umat Islam, menurut Hatta, dapat diajukan ke DPR untuk diatur dalam bentuk undang-undang.

Salah seorang pelaku sejarah, yakni Mr. Kasman Singodimedjo menuturkan dalam buku Hidup itu Berjuang Kasman Singodimedjo 75 Tahun, “Saya pun di dalam lobbying itu ingin sekali mempertahankan Piagam Jakarta sebagai unit secara utuh, tanpa pencoretan atau penghapusan dari tujuh kata-kata termaksud, karena Piagam Jakarta itu adalah wajar dan logis sekali bagi bangsa dan rakyat Indonesia secara keseluruhan. Tetapi saya pun tidak dapat memungkiri apalagi menghilangkan, adanya situasi darurat dan terjepit saat itu. Kita bangsa Indonesia pada waktu itu sungguh terjepit antara Sekutu yang telah tingil-tingil hendak mendarat dan menjajah kembali di bawah penjajah Belanda (anggota Sekutu) dan pihak Jepang yang tongol-tongol masih berada di bumi kita, yakni Jepang yang berkewajiban menyerahkan segala sesuatunya (termasuk Indonesia) kepada Sekutu (termasuk Belanda). Jepitan itulah yang membikin kami golongan Islam dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia itu tidak dapat tetap ngotot prinsipil, dan akhirnya kami menerima baik janji Bung Karno, yakni nanti 6 (enam) bulan lagi wakil-wakil bangsa Indonesia berkumpul di dalam forum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk menetapkan Undang-Undang Dasar yang sempurna, sesempurna-sempurnanya, seperti (janji tersebut) dapat juga dibaca di dalam Undang-Undang Dasar 1945 bagian terakhir.”

Dalam susunan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, hanya empat orang penandatangan rancangan pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang oleh Muhammad Yamin disebut ‘Piagam Jakarta’ atau ‘Jakarta Charter’ itu yang ditunjuk menjadi anggota Panitia Persiapan, yaitu Soekarno, Mohammad Hatta, Ahmad Subardjo, dan A. Wahid Hasjim. Sedangkan Kasman Singodimedjo, yang menjadi anggota baru sebagai tambahan, menerima undangan baru pada pagi hari itu dan ia bukan anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia.

Menurut Prawoto Mangkusasmito dalam tulisannya Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Negara dan Sebuah Proyeksi, “Seluruh tekanan psikologis tentang hasil atau tidaknya penentuan Undang-Undang Dasar diletakkan di atas pundak Ki Bagus Hadikusumo, sebagai satu-satunya eksponen perjuangan Islam pada saat itu.”

Teuku Mohammad Hasan dalam Memoar Senarai Kiprah Sejarah mengenang peristiwa yang dialami ketika itu, “Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia sudah dikumandangkan, tapi persiapan untuk berdirinya suatu negara yang merdeka terus dilakukan…..Bung Hatta menjelaskan kepada saya tentang kekukuhan Ki Bagus Hadikusumo untuk mempertahankan tujuh kata di atas baik dalam Pembukaan maupun Pasal 29 ayat 1. Kemudian saya diajak membicarakan hal ini dengan Bung Karno selama lima menit …...”

“Saya menyangggupi permintaan mereka untuk meyakinkan Ki Bagus Hadikusumo agar sedikit lunak, mau menghilangkan tujuh kata itu. Lalu saya mengajak Pak Hadikusumo bicara sekitar sepuluh menit. Saya katakan kepada beliau, kita perlu kemerdekaan. Kalau lama terus begini, bisa-bisa orang Kristen dipersenjatai oleh Belanda. Padahal, kita kan maunya merdeka, bukan berperang. Kalau itu dicantumkan, bisa-bisa nanti yang lain juga minta. Lebih baik kita cepat merdeka, kata saya. Ini semua kan masih bersifat sementara. UUD ini pun masih bersifat sementara. Coba lihat pasal peralihan yang antara lain mengatakan, dalam tempo sepuluh tahun akan ditinjau kembali. Itulah alasan saya untuk bisa meyakinkan Ki Bagus Hadikusumo. Orang Islam, kata saya menjelaskan, tidak perlu takut. Jumlah kita kan 90 persen dari seluruh penduduk. Kalau kita banyak, kita tidak perlu takut. Yang penting merdeka dulu. Setelah itu, terserah kita mau dibawa ke mana negara ini.”

“Saya segera melaporkan hasil pembicaraan itu kepada pimpinan, dan rapat pun segera dimulai. Ternyata, dalam pertemuan, semuanya bisa berjalan dengan lancar. Pemimpin Islam dan tokoh Muhammadiyah Ki Bagus Hadikusumo yang meski semula tidak puas sama sekali dengan saran Hatta, tetapi akhirnya dapat menerima perubahan rumusan konstitusi itu dengan mengusulkan kata-kata Yang Maha Esa di belakang perkataan Ketuhanan.”

“Prawoto Mangkusasmito pernah menanyakan arti istilah ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ itu kepada Ki Bagus Hadikusumo dan Mr. Teuku Mohammad Hasan. Kedua pelaku sejarah tersebut memberi jawaban yang sama bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa yang mereka usulkan dalam sidang PPKI itu sebagai pengganti tujuh kata yang didrop (dihapuskan) bermakna ‘tauhid’.”

“Ki Bagus Hadikusumo juga mengusulkan penyempurnaan rumusan kalimat: ‘Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab’, diubah menjadi ‘Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab’.”

Perubahan lainnya dalam batang tubuh Undang-Undang Dasar, presiden ialah orang Indonesia asli dan beragama Islam (pasal 6 ayat 1), kata-kata ‘beragama Islam’ dicoret, serta penggantian kata ‘muqaddimah’ menjadi ‘pembukaan. Tujuh kata yang menjadi ‘crusial-point’ itu sebelumnya telah diterima sebagai gentlemen agreement dan kalimat kompromi antara golongan kebangsaan dan Islam, yang dicapai dengan susah payah dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).

Semula golongan Islam menuntut agar negara Indonesia berdasarkan Islam, namun kemudian ada kompromi hingga menemukan bentuk negara berdasarkan Ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, diterima dengan nama Piagam Jakarta. Rumusan Piagam Jakarta itu menjadikan Indonesia merdeka bukan sebagai ‘negara sekuler’ dan bukan pula ‘negara Islam’.

Rumusan ‘Piagam Jakarta’ itu ditanda-tangani oleh Panitia yang terdiri dari 9 orang pemimpin yang representatif mewakili bangsa Indonesia, baik dari segi aliran politik yang dianut mereka maupun dari segi agama.

Ki Bagus Hadikusumo setibanya dari Jakarta beberapa hari setelah proklamasi, mengundang rapat khusus PP Muhammadiyah di Yogyakarta untuk membahas perumusan konstitusi itu. Sambil mengungkapkan situasi serba darurat dan keadaan yang serba memaksa yang terjadi pada tanggal 18 Agustus 1945 itu, Ki Bagus mengingatkan bahwa perjuangan umat Islam mencapai cita-citanya belum selesai, dan masih harus diperjuangkan terus di masa-masa datang.

Menurut Mohammad Natsir, “Sampai sekarang, kita semua tidak tahu siapa orang Kristen itu, apakah benar ada atau tidak. Sejarah belum berhasil mengungkapkan hal itu. Andaikata tadinya umat Islam berkata: Kalau begini caranya, mudahnya membatalkan hasil perundingan yang begitu payah diselesaikan, maka biarlah kami tidak ikut serta dalam Republik Indonesia. Nah, kalau demikian apa yang akan terjadi?

Untunglah hal itu tidak kejadian. Tetapi, begitulah umat Islam menahan perasaannya, dengan segala akibatnya di belakang hari.”Mengapa kelompok Islam menerima hasil-hasil pertemuan tanggal 18 Agustus 1945, menarik disimak tesis Harun Nasution yang membahas tentang masalah ini.

“Masa revolusi bukanlah saat yang tepat (bagi nasionalis Islami) untuk mendesak terlaksananya cita-cita Islami mereka. Bagi mereka mempertahankan kemerdekaan Indonesia harus didahulukan. Pandangan seperti ini antara lain tersimpul dalam pidato Kasman Singodimedjo dalam Konstituante yang mengutarakan mengapa kelompok Islami tidak mengajukan protes ketika ketentuan Islami dihilangkan dari Piagam Jakarta pada tanggal 18 Agustus 1945. Ia mengatakan, pada saat seperti itu, mengingat kalahnya Jepang dan mendaratnya tentara Sekutu, tidaklah tepat membicarakan materi tersebut secara mendalam.”

Dalam sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945 itu, Soekarno seperti dicatat oleh Prof. Mr. H. Muhammad Yamin dalam Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945 Jilid I, menambahkan bahwa Undang-Undang Dasar ini adalah undang-undang dasar sementara, undang-udang dasar kilat, suatu revolutiegrondwet. Nanti kalau kita telah bernegara, di dalam suasana yang lebih tenteram, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dapat membuat undang-undang dasar yang lebih lengkap dan lebih sempurna.

Di pihak Islam, ketika itu dan umumnya sampai tahun 1955, yakin bahwa mereka akan keluar sebagai pemenang dalam pemilihan umum. Oleh sebab optimisme inilah, maka Kasman berhasil mendesak Ki Bagus agar menerima saran Hatta.

Perkembangan sejarah di kemudian hari menunjukkan bahwa sifat sementara undang-undang dasar, sebagaimana secara historis harus diartikan demikian, dengan sendirinya berakhir dengan berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Pendapat di atas dikemukakan oleh Yusril Ihza Mahendra dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar Madya Hukum Tata Negara di Universitas Indonesia tahun 1998 dengan judul Politik dan Perubahan Tafsir Atas Konstitusi.

Menarik direnungkan ulasan Mr. Mohamad Roem dalam pengantar buku Piagam Jakarta 22 Juni 1945 karya Endang Saifuddin Anshari, “Hilangnya tujuh perkataan itu dirasakan oleh umat Islam sebagai kerugian besar dan tidak jarang yang menyayangkannya. Tetapi, karena hilangnya tujuh perkataan itu dimaksudkan agar golongan Protestan dan Katolik jangan memisahkan diri dari Republik Indonesia, maka umat Islam bersedia memberi korban yang besar itu. Karena itu, Menteri Agama, Jenderal Alamsjah Ratu Perwiranegara, mengatakan Pancasila hadiah terbesar yang diberikan umat Islam kepada Republik Indonesia.

”Perjanjian luhur antara golongan Islam dan golongan kebangsaan serta golongan lainnya yang telah dicapai melalui Piagam Jakarta 22 Juni 1945, yang selanjutnya pada tanggal 18 Agustus 1945 para pemimpin Islam bersedia mencoret kata-kata, dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, setelah kata ke-Tuhanan, merupakan cerminan sikap kenegarawanan (statemenship) dan komitmen pada persatuan bangsa yang tiada bandingnya sepanjang sejarah Republik Indonesia. Dalam perkembangan di kemudian hari sehubungan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang memberlakukan kembali Undang-Undang Dasar 1945, dalam konsiderans dekrit, Presiden Soekarno atas nama rakyat Indonesia menyatakan, kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juli 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar, dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut.”

Pertanyaan yang mendasar diajukan oleh dua orang anggota DPR yaitu Anwar Harjono (Masyumi) dan H. A. Sjaichu (NU) kepada Pemerintah yang diwakili oleh Perdana Menteri Juanda menyangkut rencana kembali ke UUD 1945 serta maksud dari pengakuan Piagam Jakarta dan pengaruhnya dalam UUD 1945. Jawaban resmi Pemerintah yang disampaikan oleh Perdana Menteri Juanda, bahwa pengaruh Piagam Jakarta tersebut tidak mengenai Pembukaan UUD 1945 saja, tetapi juga mengenai Pasal 29 UUD 1945, dengan demikian perkataan ‘Ketuhanan’ dalam Pembukaan UUD 1945 dapat diberikan arti ‘Ketuhanan dengan kewajiban bagi umat Islam untuk menjalankan syariatnya sehingga atas dasar itu dapat diciptakan perundang-undangan bagi para pemeluk agama Islam, yang dapat disesuaikan dengan syariat Islam.

Tidak dapat dipungkiri bahwa spirit Piagam Jakarta sebagai dokumen ideologis dan dokumen historis terpatri dalam Konstitusi negara kita. Meski telah 4 kali amandemen UUD 1945 di masa reformasi dan saat ini kembali bergulir usulan amandemen ke-5, namun diharapkan spirit Piagam Jakarta tetap hidup dalam hati sanubari para pemimpin dan segenap warga bangsa yang majemuk ini. Menggaris bawahi statement Bung Hatta, semangat Piagam Jakarta tidak lenyap dengan menghilangkan perkataan Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.

Selanjutnya dalam rangka menjamin kepentingan agama dan umat beragama di Indonesia, pada tanggal 3 Januari 1946 didirikan Kementerian Agama dengan Menteri Agama pertama almarhum H.M. Rasjidi. Pembentukan Kementerian Agama adalah inisiatif dan perjuangan para pemimpin Islam melalui Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang menjalankan fungsi sebagai parlemen pertama Indonesia. (Sumber). Baca juga LINK

ISI DARI PIAGAM JAKRTA




Previous Post Next Post

نموذج الاتصال