JANGAN CET LANGET BANGUN SABANG KALAU TAK ADA BLUE PRINT

Sabang Port
BERANDA ACEH - Berbicara tentang pelabuhan sabang, sama juga kita bicara membuat warung kopi. Warung kopi zaman dulu tidak perlu ada wireless pun tetap juga orang akan datang. Sekarang bisa kita lihat, warung kopi yang ada jaringan internet dengan yang tidak pengunjungnya sangat beda dari persentase.

Dalam hal inilah Team PENA tertarik untuk menelusuri seluk-beluk pembangunan Pelabuhan Sabang, kita bukanlah team yang ahli di Bidang Port, tapi kita hanya ingin memberikan sedikit masukan dan saran, tentang bagaimana seharusnya Pelabuhan Sabang itu dapat menjadi “The Dream Port”, pelabuhan impian bagi orang Aceh.

Sebenarnya tidak ada kejelasan yang akurat terkait Sabang itu mau dibangun pelabuhan yang bagaimana atau jenis apa, container atau shipment. Kedua model ini sangatlah berbeda, kalau container harus punya banyak tempat, bisa-bisa Sabang harus dirombak atau kemungkinan besar, Kota Sabang harus dipindahkan. Karena containermembutuhkan tempat yang besar, terutama buat kapal yang berlabuh dan krant-krantyang besar untuk bongkar buat barang yang cukup banyak memakan tempat, dan konsekwensi perusakan alam atau marine sangat besar, karena tumpahan minyak dan sebagainya. Tapi kalau shipment, maka Kota Sabang tidak perlu dirombak atau dipindahkan. Kalau hal ini yang diperlukan adalah perbaikan dermaga dan infrastruktur di dermaga itu.

Shipment dan container itu sangat berbeda aturannya atau tuntutannya terhadap dermaga, terutama ke dalam laut, panjang dan lebar atau area, juga tak terlepas dari izin dan peraturan pemerintah setempat. Contoh yang paling mudahan adalah, kalau kita membangun terminal Bis Penumpang dan Terminal Truk yang bawa barang.

Terminal Bis penumpang biasanya mensyaratkan, ramah lingkungan, parkir buat penumpang, tempat jualan loket, warung makan, warung kopi dan seterusnya, ini sama dengan Shipment.

Sedangkan Terminal Truk Barang tidak memerlukan semua itu, tidak membutuhkan lapangan parkir buat penumpang, hanya perlu penginapan dan warung makan. Tapi membutuhkan area yang luas. Inilah persamaannya dengan Container.

Selama ini Pemerrintah Sabang tidak menjelaskan dalam Blue Print mereka, Pelabuhan Sabang itu mau dibikin model apa dan bagaimana, sedangkan biaya yang sudah dihabiskan sudah mencapai 1 trilliun.

Kalau kita mau bicara tentang bagaimana mau bangun Sabang, tentu kita harus ada ahli dibidang port. Karena mereka saja yang bisa mengetahui Pelabuhan Sabang itu bisa dijadikan pelabuhan apa, tanpa ahli maka Pelabuhan Sabang tidak akan jadi apa-apa. Sama dengan seorang insiyur yang ahli dibidang bangunan, dia akan tahu kalau rumah bentuk bangglow, berapa perlu semen, besi, batu dan sebagainya.

Begitu juga dengan seorang yang ahli di bidang port, mereka akan melihat geografi atau letak Sabang, jarak tempuh antara satu pelabuhan yang sudah ada dengan Sabang, seperti dengan negara tetangga Malaysia, Singapore dan Thailand. Malah harus diperhitungkan juga pelabuhan yang sudah ada di dalam negeri sendiri, seperti Medan dan Batam.

Dalam hal inilah perlu expert mempelajari Pelabuhan Sabang itu sesuainya untuk apa, bukan asal udah buka pelabuhan tapi tidak tahu mau buat apa. Selama ini kita ketahui bahwa Rencana Pembangunan Pelabuhan Sabang itu, ingin mengembalikan era tahun 60-an, ketika Pelabuhan Sabang dijadikan sebagai Pelabuhan Bebas oleh Soekarno, ini kan ide CÉT LANGÉT. Mana bisa disamakan sewaktu itu dengan sekarang.

Walaupun kita mampu membangun Pelabuhan Sabang tapi kalau tidak ada kapal yang singgah untuk apa kita bangun dengan biaya yang cukup mahal. Selama ini hanya kapal pesiar yang masuk ke Sabang, itupun tidak membuat dampak apa-apa. Jangankan untuk Aceh, untuk Sabang sendiri saja tidak ada. Inilah yang seharusnya dikaji oleh Pemerintah Aceh dan BPKS sabang.

Dari kerja-kerja yang kita lihat selama ini kelihatan sekali BPKS tidak bekerja profesional, ”RAJA SUE NGON BUET” (Asbun). Tanpa mempertimbangkan dan mempelajari lebih detail apa dan bagaimana. Jangankan mau membangun Sabang, untuk mempercepat hukum-hukum untuk memperlancar Pembangunan Pelabuhan Sabang saja tidak bisa.

Karena kalau kita lihat, dan kita buat analisa, sangat susah bagi kapal-kapal yang ingin masuk ke Sabang, mulai dari Pajak Pemerintah sampai ke ”Pajak Nanggroe” yang ada di sana. Belum lagi yang lain lainnya, seperti kemudahan penginapan dana tempat-tempat nyantai untuk para crew kapal, tak mungkinlah kita suruh mereka hanya melihat keindahan alam, laut, monyet dan acara lét bui (berburu babi) di Sabang.

Malah Kepala BPKS yang baru, yang walaupun bekas Direktur Aron membuat pernyataan dihari pertama pelantikannya dengan penyataan yang absurd, meminta agar pemerintah memberikan dana sebanyak 25 triliun. Sedangkan Blue Print dan ide untuk menggunakan dana itu tidak ada. Dana yang selama ini saja tidak ada benefit, jangankan untuk Aceh, untuk Sabang saja yang masyarakatnya hanya 20 ribu tidak ada binefit apa-apa. Bukan tidak bisa meminta dana, tapi terlalu dini dia meminta dana sedangkan kerja saja dia tidak dan ayau belum tahu apa. Dengan dana yang sebanyak itu, berguna atau tidak untuk Pelabuhan Sabang.

Dari 25 triliun itu, kalau kita invest, berapa lama uang itu akan kembali, karena kalau kita sudah meng-invest uang, tentu kita mau uang itu akan kembali dengan ada untungnya, bukan hanya sekedar invest. ”Untung ka keuh untung meujoe rugoe ka keuh” (kalau untung syukur, kalau rugi ya sudah).

Heran juga kita kenapa tidak ada orang yang bertanya kepada Kepala BPKS Sabang yang baru, untuk apa dana sebanyak itu, kenapa mudah sekali dia berkata seperti itu, sedangkan dia sendiri tidak tahu bagaimana mau membuat Pelabuhan Sabang.

Kalau alasannya mau mengembalikan sabang ke pada sejarahnya ya tidak bisa.Waktu itu Indonesia tidak punya pabrik rokok, sepatu dan barang-barang yang bermerek luar, karena sebelumnya bisa masuk dari Singapore, tapi karena era 60-an Indonesia berkonfrontasi dengan Malaysia maka untuk mengantisipasinya Soekarno dengan menggebu untuk menyaingi Malaysia dengan cara membuka Pelabuhan Bebas di Sabang.

Sekarang pabrik apa yang tidak ada di Indonesia, produk apa lagi yang tidak ada di Indonesia, kapal model apa lagi yang tidak masuk ke Pelabuhan Indonesia?

Setelah Indonesia bisa mandiri, maka Sabang ditutup lagi oleh Soeharto tahun 1984, karena dianggap Sabang telah banyak meruginan Negara. Sebab utamanya adalah banyaknya masuk barang illegal ke Indonesia melalui Sabang yang tidak ada pajak sama sekali.

Apa yang silapnya disini adalah, orang Aceh terlalu banyak menghayal tentang masa kegemilangan Sabang tahun 60-an. Orang Aceh pikir Sabang sekarang bisa dikembalikan ke zaman itu. JANG NJOE NJOE MANTONG KAPIKE (ini kan mimpi).

Orang Aceh harus tahu dinamika perdagangan global, waktu itu tidak sama dengan sekarang. Orang Aceh harus tahu juga Sains of Economic. Dan Orang Aceh juga harus tahu apa itu freetrade area, Sabang itu tidak ada apa-apanya kalau dibandingkan dengan Port Klang, Tanjung Pelepas di Malaysia, Batam dan Pelabuhan yang di Sangapore yang bisa menyediakan apa saja untuk costumer-nya.

Seharusnya Pemerintah Aceh dan BPKS belajar lebih banyak tentang pelabuhan, jangan terlalu dibuai oleh ”memori daun pisang” tahun 60-an. Karena ini akan merugikan Aceh. Dengan dana sebesar apapun kita bangun Pelabuhan Sabang, kalau fasilitas dan kemudahan atau infrastruktur tidak bagus, maka tidak akan ada kapal yang mau masuk ke Aceh.

Secara logika, kalau kita sudah biasa belanja di sebuah warung yang barangnya lebih lengkap, maka agak susah kita mau belanja ke warung baru. Walaupun warungnya bagus dan besar tapi barangnya tidak sama dengan warung yang sudah biasa kita pergi belanja. Maka, kita lebih memilih warung yang sudah biasa kita kunjungi untuk berbelanja. Secara bisnis, warung yang baru itu haruslah punya nilai dan suasana yang memiliki nilai lebih dari warung yang sudah biasa kita kunjungi.

Dalam hal ini, Sabang tidak bisa menggait hati para awak kapal untuk singgah di Pelabuhan Sabang. Kalau di Europa dan di sebagian Negara Asia, mereka tahu bagaimana menggait hati para awak kapal supaya mereka mau melabuh-kan kapalnya di daerah mereka. Dengan cara memberikan segala kemudahan, bonus dan trik trik lain.

Lainlah kalau Orang Aceh mau buat Pelabuhan Sabang itu kayak pelabuhan di Somalia, itu lain lagi ceritanya, paksa kapal-kapal yang lalu-lang di Selat Malaka berhenti di Pelabuhan Sabang.

Banyak sekali alasannya kenapa Sabang sudah tidak cocok untuk dibuat pelabuhan bebas, inilah yang perlu dipertimbangkan dan dipelajari oleh Pemerintah Aceh.

Contoh yang paling nyata sekali ketika Mahatir membuat KLIA (Kuala Lumpur Internasional Airport), dianggap dengan membangun lapangan terbang yang paling canggih di Malaysia maka bisa bersaing dengan Singapore dan Thailand, ternyata spekulasi dia meleset. Sekarang bisa kita lihat, lampu di KLIA semakin redub. Sebaliknya dengan Cangi, dimana KLIA yang lampunya semakin redum, lampu di Cangi semakin menyinar, malah sekarang Cangi sudah punya terminal 3, dan karena tidak tertampungnya pesawat di Airport yang lama Dongwan Thailand telah membangun Airport barunya di Suara Bumi.

Kalau kita lihat secara sofisiketet apa yang kurang di KLIA, airport paling canggih di daerah Asean, tapi disebabkan nilai tawarnya kurang maka, pesawat yang sudah biasa mendarat di Thailand dan Singapore maka tidak mau memindahkan arah pesawatnya ke KLIA.

Kenapa KLIA makin redup lampunya, karena jarak tempuh antara satu lapangan terbang dengan yang lainnya hanya mekakan waktu kurang lebih sejam saja. Makanya tidak mungkin maskapai-maskapai yang sudah mendarat di Thailand atau Singapore mau mendarat lagi di KLIA. semua maskapai akan memperkirakan hanya sekali transit disebuah dalam perjalanannya.

Sama juga dengan Sabang, seorang Nahoda tidak akan mau melabuh-kan kapalnya di Sabang, kalau mereka sudah berlabuh di Singapore, tanpa alasan tertentu. Semua itu masalah waktu dan kepentingan.

Ini tidak terlepas dari rezim bisnis, karena seperti yang sudah kita uraikan di atas, bisnis itu punya cara dia tersendiri, punya sains tersendiri, tidak bisa kita samakan bisnis ”kacang kedelai” dengan bisnis batu bara. Apa yang silapnya kita adalah, kita mengambil kata bisnisnya saja, tapi tidak membicarakan apa yang mau dibisniskan.

Alternatif Untuk Membangung Pelabuhan Sabang.

Pemerintah harus memberikan orang lain untuk menginvestasikan uang mereka ke Sabang, dengan kata atau sebagai contoh, Pemerintah Aceh harus mengajak kerjasama dengan Pelabuhan Hamburg, biarkan mereka yang mengelola Sabang, dengan begitu mereka akan mencari kapal untuk singgah di Sabang, sebab kalau mereka sudah menginveskan uang mereka ke Sabang, mereka tidak akan mau rugi. Dari apa yang kita tahu bahwa Hamburg Port punya banyak partner yang bisa mereka ajak agar melabuhkan kapal mereka di Sabang, biarkan mereka yang kelola, setalah Sabang sudah establish dan kontrak kerja sudah habis, maka kita sudah enak untuk melanjutkannya.

Kalau Pemerintah Aceh mau kelola sendiri masih ada alternative lain, yaitu kerjasama dengan Malaysia dan Singapore, bahkan kalau bisa denganThailand. Karena dari apa yang kita ketahui, pelabuhan yang ada di Malaysia,Singapore dan Thailand sudah over load, jadi inilah yang harus diambil manfaatnya oleh Pemerintah Aceh.

Sabang dapat kita jadikan Pelabuhan Medical Turisem, caranya dengan membangun rumah sakit tercanggih di Asia yang dikelola oleh investor. Hal ini bisa kita lakukan karena semua barang-barang atau alat perlengkapan rumah sakit yang masuk ke Sabang tidak perlu ada cukai, maka untuk membeli alat-alat ini tak perlu membuang banyak uang. Kalau sudah maju Rumah Sakit tentu memerlukan hotel, transportasi, restoran dan sebaginya. Dengan cara inilah Sabang akan bisa menjadi motor bagi ekonimi Aceh.

Sekarang ini banyak orang Aceh berobat ke Penang Malaysia, disebabkan tidak ada rumah sakit yang standar yang nyaman yang punya alat canggih di Aceh.

Kalau kita pelajari Penang itu tidak akan maju kalau tidak ada turis, sama juga dengan Bali, Bali itu dulunya hanya di datangin oleh turis bag pakker. Tapi lama-lama Bali menjadi pusat turis di Asia. Kenapa? karena turis-turis bag pakker ini membuat tulisan-tilisan tentang bali, “The Lost Paradise”. Sabang juga bisa kita buat seperti Bali dan Penang, asal kita memang benar-benar mau. Caranya memang harus lain-lain yang lain. Kalau mau buat warung, menunya boleh sama dengan warung yang sudah ada di sebelah warung kita, tapi mutu, pelayanan dan suasana harus berbeda dengan warung yang sudah ada. (Team PENA & BA )
Previous Post Next Post

نموذج الاتصال