2017 ACEH vs ACEH DAN ACEH vs INDONESIA


Beranda Aceh - “Merebut itu lebih mudah daripada mempertahankan” 

“Dulu pasir dan batu itu semua berada di Pantai PARNAS, lantas pasca MoU Helsinki perlahan masuk ke saringan PARLOK kemudian lama-kelamaan “bisa saja” lepas lagi karena berbagai factor “X” sehingga jatuh lagi ke Pantai PARNAS!” Logikanya Sebutir pasir tidak akan bisa berada di dua tempat yang berbeda dalam waktu yang bersamaan, jika A Maka bukan B, jika kali ini Kekuatan Politik Local PA-PNA-PDA atau “Barisan Nasional Aceh” gagal mensejahterakan Rakyat Aceh maka "tangisan" ketika rakyat lebih memilih Partai Nasional atau jagoan politik Barisan Nasional Indonesia akan menjadi penutup cerita kegagalan Politik Aceh yang sangt menyedihkan!
Lebih kurang Seperti itu lah ibaratnya dengan perkembangan dan pergeseran kekuatan politik di Aceh.

Dalam tulisan ini saya akan mencoba membagi perkembangan perpolitikan Aceh dalam beberapa periode yang sudah berlalu dan mencoba menerka arah perkembangan perpolitikan Aceh kedepan. Dalam hal ini saya akan membagikan kedalam beberapa periode yang didasari pada pergeseran kekuatan politik dalam menguasai pemerintahan di Aceh, baik itu yang dikendalikan oleh kekuatan politik Nasional Indonesia melalui Partai Nasional yang kemudian saya istilahkan dengan “Barisan Nasional Indonesia”, maupun yang dikendalikan oleh kekuatan politik local terutama pasca MoU Helsinki yang saya istilahkan dengan “Barisan Nasional Aceh” yang domotori oleh Partai Lokal di Aceh. Adapun periodisasi tersebut yaitu sebagai berikut:

Periode Indonesia (dari pasca merdeka sampai sebelum MoU Helsinki 2005). 

Sebelum MoU Aceh sepenuhnya di bawah kendali pemerintahan yang dikuasai oleh Indonesia melalui partai nasional, baik buruknya, maju mundurnya kondisi rakyat Aceh sepenuhnya tergantung pada Indonesia sebagai pemegang kendali pemerintahan dan perpolitikan di Aceh, diakui atau tidak saat itu rakyat Aceh yang merasa hidupnya melarat, jauh dari kemakmuran “sangat wajar” mengalamatkan kekecewaan pada pemerintah Indonesia. 

Realitas menunjukkan pada akhirnya rakyat Aceh umumnya dan terutama yang mengkristal dalam barisan GAM melawan Indonesia untuk menuntuk keadilan, menuntuk kehidupan yang lebih makmur dan lebih layak, konflik Aceh-Indonesia itu semakin memperparah kondisi rakyat Aceh, semakin hari kehidupan rakyat Aceh terus memburuk hampir dalam semua aspek, kecuali “yang positif” hanyalah kesatuan dan kebersamaan, kekompakan atau solidaritas sesama rakyat Aceh semakin hari semakin tinggi. GAM berjuang dengan senjata, melalui jalur yang berbeda para mahasiswa atau aktifis yang juga mendapat dukungan dari rakyat Aceh juga berjuang untuk “memerdekakan” Aceh melalui tuntutan referendum.

Di sisi lain pemerintah Indonesia yang merasa perjuangan rakyat Aceh itu sebagai sebuah permasalahan yang mengancam keutuhan NKRI menangani masalah Aceh dengan begitu “keras” mulai dari DOM, Darurat Militer hingga Darurat Sipil menjadi “jawaban” yang diberikan oleh Indonesia atas tuntutan keadilan dari rakyat Aceh, Aceh semakin porak-poranda ketika tsunami datang melengkapi “kehancuran” Aceh yang sebelumnya tercabik oleh perang.

Akhirnya pada tanggal 15 Agustus 2005 status Aceh berubah dari daerah perang menjadi Damai, yang ditandai dengan ditanda tanganinya Nota kesepahaman antara kedua pihak yang sebelumnya terlibat perang yaitu Aceh melalui GAM dengan Indonesia yang kemudian di kenal dengan MoU Helsinki. Secara perlahan kondisi Aceh kembali normal dan terus membaik, perpolitikan, ekonomi, kesehatan rakyat Aceh mulai normal kembali dan terus membaik. Artinya pada periode pra MoU ini Barisan Nasional Indonesia masih menjadi penguasa tunggal perpolitikan di Aceh.

Periode Aceh I (Pasca MoU 2005 sampai 2012).

Setelah tsunami dan perang yang berkepanjangan yang telah meluluh lantakkan semua sendi kehidupan rakyat Aceh Alhamdulillah pada 15 Agustus 2005 para pihak yang terlibat konflik telah mencapai kesepakatan untuk mengakhiri pertikaian bersenjata.

Para pejuang GAM yang sebelumnya diburu kini sudah mulai kembali menikmati kehidupan normal, perjuangan bersenjatapun ditransformasikan ke dalam perjuangan politik. Puncaknya pada tahun 2006 perpolitikan di Aceh diambil alih oleh kekuatan politik local atau “Barisan Nasional Aceh” yang dimulai dengan kemenangan Irwandi & Nazar pada pilkada 2006, bahkan dalam proses selanjutnya kesuksesan merebut kekuasaan eksekutif tersebut juga diikuti dengan keberhasilan merebut kekuasaan legeslatif yang diawali dengan lahirnya Partai Aceh yang dimotori oleh pimpinan politik GAM dan didukung oleh mayoritas rakyat Aceh sehingga bisa merebut kendali kekuasaan legeslatif di Aceh, kesuksesan “Barisan Nasional Aceh” mengungguli Barisan Nasional Indonesia ketika PA meraih kursi mayoritas yakni 33 kursi PA plus 1 kursi PDA di DPR Aceh seakan melengkapi syarat yang dibutuhkan “Barisan Nasional Aceh” untuk mensejahterakan rakyat Aceh yang sudah sekian lama hidup di bawah "kekuasaan" Barisan Nasional Indonesia. 

Meski tidak maksimal namun kehidupan rakyat Aceh mulai dan terus membaik, Pemerintah Aceh yang dikuasi “Barisan Nasional Aceh” dalam periode ini tergolong sukses membenahi kehidupan rakyat Aceh, di bawah komando Irwandi-Nazar pemerintah Aceh berhasil melakukan berbagai terobosan semisal lahirnya Program JKA untuk memperbaiki taraf Kesehatan rakyat Aceh, adanya pembangunan rumah Dhuafa yang mulai menjawab persoalan rakyat Aceh yang tidak memiliki tempat tinggal yang layak, adanya program Beasiswa untuk pelajar Aceh terutama beasiswa ke luar negri dan juga beasiswa kusus kepada anak yatim yang menjadi solusi untuk meningkatkan taraf pendidikan rakyat Aceh. Sehingga tingkat IPM rakyat Aceh mulai membaik. 

Namun perjalanan untuk menjadi lebih baik tidak selamanya mulus, dimulai dengan persaingan dan perpecahan ditubuh kekuatan politik local atau “Barisan Nasional Aceh”, di eksekutif kekompakan Irwandi Nazar mulai berkurang, diikuti dengan keretakan hubungan eksekutif dan legeslatif, sehingga pertumbuhan yang sebelumnya  berjalan lancar mulai menemukan berbagai kendala seiring dengan perpecahan yang terjadi ditubuh pemerintah Aceh, sehingga pembangunan menjadi terhambat.

Pada dasarnya disadari atau tidak, problem terbesar yang menyebabkan keadaan tersebut adalah timbulnya ketidak sepahaman di tubuh “Barisan Nasional Aceh” yang mengomandoi pembangunan di Aceh. Wujud nyata dari pergesekan tersebut adalah dalam pilkada 2012 di mana “GAM” yang merupakan kekuatan utama “Barisan Nasional Aceh” terlihat terbelah kedalam dua kubu yaitu Irwandi cs yang berada di luar Partai Aceh maju melalui jalur Independen, sementara PA mengandalkan duet ZIKIR (Zaini & Muzakkir) serta di pihak lain Muhammad Nazar yang berasal dari garis aktifis yang sebelumnja bersama-sama dengan “Barisan Nasional Aceh” memenangkan kontestasi 2006 juga maju secara terpisah. Alhasil dengan segenap trik dan intrik yang berjalan ZIKIR memenangkan pilkada 2012.

Satu hal yang perlu kita catat bahwa, pada paruh awal periode Aceh I ini “kekuatan” utama “Barisan Nasional Aceh” yaitu persatuan dan solidaritas sesama rakyat Aceh atau dengan istilah lain rasa nasionalisme ke Acehan masih sangat kental, namun memasuki paruh akhir periode ini “Barisan Nasional Aceh” kehilangan modal utamanya yaitu kekompakan sesama rakyat Aceh mulai tercabik. Hal ini pada akhirnya berdampak pada pembangunan dan kemajuan Aceh yang terhambat. Artinya pada periode ini “Barisan Nasional Aceh” dengan segala kelebihan dan kekurangannya telah berhasil mengambil alih kekuasaan politik dari tangan “Barisan Nasional Indonesia”.

Periode Aceh II (dari 2012 sampai 2017), Pasca Pilkada 2012

Periode ini bisa disebut juga sebagai periode kedua “Barisan Nasional Aceh” berkuasa di Aceh. Di bawah kendali Zaini-Muzakkir pertumbuhan atau pembangunan di Aceh bisa dibilang masih jalan ditempat (setidaknja menurut saya) padahal kedua lembaga pemerintahan di Aceh dikuasai “Barisan Nasional Aceh” baik Legeslatif (sisa periode 2009) dan hasil pemilu 2014 maupun Eksekutif yang direbut lagi di pilkada 2012. Namun layaknya penyakit lama yang kambuh lagi, perpecahan “nampaknya” kembali terjadi di tubuh pemerintah Aceh. Ketidak akuran Zaini dan Muzakkir mulai tercium, dilanjutkan dengan perebutan pengaruh kedua kubu diparlemen yang ikut berperan menghambat pembangunan di Aceh.

Sejatinya pada periode ini kekuatan politik di Aceh mulai menunjukkan pergeseran kembali, jika sebelumnya “Barisan Nasional Aceh” dengan begitu leluasa menguasai Eksekutif dan legeslatif, namun dikarenakan adanya perpecahan di kubu “Barisan Nasional Aceh” maka pada pemilu legeslatif 2014 yang lalu Barisan Nasional Indoesia mulai mendapatkan “angin segar” hal ini terlihat dari perolehan kursi DPRA, di mana “Barisan Nasional Aceh” hanya mengasai 33 kursi yakni PA 29, PNA 3 dan PDA 1 kursi, sementara Barisan Nasional Indonesia malah menunjukkan trend positif dengan menguasai 48 Kursi DPRA, ini artinya “Barisan Nasional Aceh” mengalami kemunduran. Nah mengaca dari pengalaman dan segala persoalan maju mundurnja pertumbuhan pembangunan di Aceh pasca koflik di bawah komando “Barisan Nasional Aceh”, kita perlu menggaris bawahi bahwa satu persoalan terbesar yang menyebabkan kemunduran di Aceh adalah perpecahan yang terjadi antar sesama rakyat Aceh. 

Mendekati pilkada 2017 sepertinya “Barisan Nasional Aceh” mulai tersadar kembali bahwa “perpecahan” atau permusuhan antara sesama Aceh akan berdampak buruk bagi perkembangan Aceh ke depan, sehingga di awal 2015 ini mulai terlihat bahwa para pihak kembali berusaha menguatkan kembali semangat Nasionalisme keAcehan yang sebelumnya sempat terkoyak, indikasi bahwa rakyat Aceh terutama dua kekuatan politik mantan pejuang akan kembali berekonsiliasi atau setidaknya berkoalisi  untuk merapatkan kembali “Barisan Nasional Aceh” “sepertinya” semakin terlihat terang, terutama kedua kubu “GAM” yaitu PA dan saudaranya PNA yang sebelumnya berseberangan kembali akur demi melanjutkan perjuangan membela rakyat Aceh meskipun belum ada kata sepakat secara resmi untuk membentuk koalisi yang akan mengumpulkan kembali semua kekuatan politik local dalam satu “Barisan Nasional Aceh”. 

Sejatinya rasa nasionalisme keAcehan ini sangat penting untuk memerdekakan rakyat Aceh dari kemiskinan, kebodohan dan segala ketertinggalan lainnya. Meskipun kita menyadari bahwa semua itu tidak mudah karena penyakit yang dialami Aceh sungguh sudah sangat kronis, butuh waktu, kedewasaan, keakuran, keseriusan, kecerdasan, kesungguhan, keikhlasan dan kesabaran dari semua element masyarakat Aceh tentunya, namun jika kita Aceh bersatu insya Allah kita akan bisa.

Periode Aceh atau Indonesia (2017-2022).

Periode ini “sepertinya” akan menjadi pertaruhan bagi fihak yang akan memangkan kontestasi pilkada 2017-2022. Jika dalam periode ini kekuatan politik local Aceh  “Barisan Nasional Aceh” (PA, PNA dan PDA) berhasil membuktikan bahwa mereka bisa membuat Aceh labih baik dari  periode sebelumnya maka “kemungkinan” besar Barisan Nasional Indonesia melalui Partai Nasional harus mengucapkan selamat kepada “Barisan Nasional Aceh” yang telah berhasil merebut Aceh dari kekuasaan Indonesia, meskipun tidak megeluarkan Aceh dari Indonesia tetapi setidaknya Aceh akan dengan leluasa mengatur dirinya secara mandiri, dengan pemerintahan yang kuat dan rakyat yang sejahtera melebihi kesejahteraan yang pernah diberikan oleh Indonesia sebelumnya, sehingga kemungkinan “Barisan Nasional Indonesia” untuk merebut kembali “kendali” terhadap pepolitikan dan pemerintahan di Aceh akan semakin sulit. 

Sebaliknya Jika “Barisan Nasional Aceh” (PA, PNA dan PDA) menang namun gagal memberikan kesejahteraan kepada rakyat Aceh maka kedepannya “Barisan Nasional Indonesia” melalui Partai Nasional tidak perlu bersusah payah untuk merebut kembali kekuasaan politik di Aceh karena rakyat akan dengan “otomatis” berpaling ke Partai Nasional, setelah dari 2006 hidup di bawah kekuasaan “Barisan Nasional Aceh” namun mereka merasa tidak sejahtera sebagaimana yang pernah dijanjikan oleh para pejuang semenjak masa perang (pra MoU) hingga masa damai (pasca MoU).

Dengan kata lain bagi kedua belah fihak baik Aceh maupun Indonesia periode ini (2017-2022) menjadi sangat krusial atau dengan bahasa yang lebih tegas bisa dikatakan bahwa periode ini “mungkin saja” jadi pertaruhan terakhir untuk merebut simpati dan pengaruh rakyat Aceh untuk mengukuhkan kekuasaannya dan juga menjadi “periode” untuk membuktikan kepada rakyat Aceh siapa yang sebenarnya lebih peduli dan sungguh-sungguh dalam memberikan kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyat Aceh. 

Siapa saja yang berhasil memberikan kemakmuran bagi rakyat Aceh maka peluang untuk terus melanggengkan kekuasaan di Aceh akan semakin terbuka lebar, begitu juga sebaliknya bagi fihak yang menang dalam pilkada tapi gagal memberikan kesejahteraan kepada rakyat Aceh maka kemungkinan untuk kembali merebut simpati rakyat Aceh akan semakin sempit dan peluang untuk kembali menguasai perpolitikan di Aceh akan semakin berat atau bisa saja kan tertutup sama sekali.

Periode Indonesia saja atau Aceh saja (2022 hingga seterusnya?)

Perkembangan pada periode ini sangat tergantung pada hasil dari periode 2017-2022, periode ini bisa dikatakan “kemungkinan” perpolitikan di Aceh akan semakin stabil karena merupakan kelanjutan bagi fihak yang memanangkan “pertarungan” untuk terus memantapkan pengaruh yang diperoleh pada periode sebelumnya. 

Jika Aceh dengan kekuatan Barisan Nasional Aceh yaitu tiga partai local Partai Aceh (PA), Partai Nasional Aceh (PNA) dan Partai Daulat Aceh (PDA), serta didukung kekuatan politik lokal lainnya yang berada di luar ketiga partai tersebut berhasil menguatkan persatuan, menyatukan persepsi untuk sama-sama membenahi dan memajukan Aceh maka saya memprediksikan perpolitikan di Aceh akan terus berada di bawah kendali kekuatan politik lokal, demikian juga sebaliknya jika Aceh gagal maka Indonesia akan kembali ke singgasana. 

Namun dalam  dunia politik semua kemungkinan bisa saja terjadi, karena mengingat Aceh dengan segenap potensi dan persoalannya masih sangat “menantang” untuk dikuasai oleh fihak manapun, jadi mungkin saja akan ada fihak yang berharap Aceh akan kembali labil agar mereka kembali mendapatkan peluang untuk dapat menguasai Aceh.

Saya berharap, siapapun yang akan berkuasa kedepan semoga Aceh akan semakin baik dan semakin maju, sehingga rakyat Aceh bisa merasakan kemakmuran yang sudah lama didambakannya.

Apa yang akan terjadi? Kita lihat saja nanti… “Now Or Never?” Yang pasti merebut itu sulit, tapi mempertahankan jauh lebih sulit! By MR
Previous Post Next Post

نموذج الاتصال