ACEH BUTUH SEORANG PEMIMPIN YANG BERANI, BUKAN SEORANG PENEBAR JANJI

Beranda Aceh - Biasanya istilah Super Sub lebih dikenal dalam dunia sepak bola, ia adalah sosok pemain specialis pengganti yang sering kali tampil jadi pembeda bagi TIM, bagi para penggemar liga-liga di eropa terutama liga Inggris dan liga Italia pasti pernah dengar nama-nama beken seperti Ole Gunnar Solskjaer yang sangat phenomenal menjadi Super Sub di MU, ada juga nama Julio Cruz di Inter Milan, kemudian nama Edin Dzeko di City dan Chicharito di MU yang kemudian pindah ke Madrid.

Nama-nama tersebut mempunyai skill dan kemampuan yang luar biasa, tidak diragukan lagi mereka sering kali membuktikan kepiawaiannya mencetak gol-gol penting yang bisa melepaskan klub dari kekalahan atau bahkan memberikan kemenangan krusial  bagi klub yang diperkuatnya.

Namun, yang perlu dicatat bahwa mereka hanya Super Sub alias specialis pengganti striker utama ketika TIM deadlock atau ketika striker utama absen memperkuat TIM, sepanjang kariernya mereka selalu tampil cemerlang namun cukup sebatas Super Sub.

Kenapa demikian?
Hal ini dikarenakan oleh berbagai faktor, salah diantaranya adalah faktor tekanan dan kemampuan bersaing, tekanan menjadi striker utama sangat besar, tanggung jawab striker utama jauh lebih besar, peluang sukses striker utama sama besarnya dengan peluang gagal.

Hal ini akan sangat berbeda dengan yang dirasakan seorang Super Sub, seburuk apapun kinerja mereka tidak akan mendapat tekanan sebesar yang diterima pemain utama, namun nama Super Sub seringkali jadi buah bibir karena peran minimalisnya membuahkan hasil maksimal.

Ternyata Super Sub tidak hanya ada dilapangan sepak bola, dalam kancah politik dan birokrasi kita juga mengenal nama beken seperti Tarmizi A Karim yang telah berulang kali menjalankan tugas Super Sub nya dengan baik sebagi PJ baik di Aceh maupun di luar Aceh, namun ada juga Super Sub yang ternyata hanya mengkilap ketika menjadi pengganti seperti nama Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho yang baru saja tersangkut kasus dan berurusan dengan KPK ia dulunya dikenal sukses sebagai PJ di SUMUT ketika mantan GubSu sebelumnya Samsul Arifin dijerat KPK, kemudian ternyata ketika dia terpilih sebagai Gubernur alias pemain utama reputasinya malah hancur ia juga terseret kasus yang membuatnya harus rela senasib dengan pendahulunya.

Kita harus menyadari dan mengakui bahwa pengalaman dalam dunia kebirokrasian memang penting agar tidak meugap-gap alias kalang kabut dalam berurusan dengan pemerintah pusat, tapi kita juga tidak boleh lupa, Aceh dengan sejuta persoalannya tidak bisa diatasi hanya dengan keahlian dan pengalaman dalam hal birokrasi, tapi butuh daya tahan menghadapi tekanan yang tidak biasa, tekanan yang jauh berbeda dengan yang dihadapi oleh pimpinan daerah manapun yang ada di Indonesia, bahkan juga berbeda dengan tekanan yang dihadapi oleh president Indonesia sekalipun.

Kondisi sosial masyarakat Aceh yang jauh berbeda dengan masyarakat lain di Indonesia membutuhkan pemimpin yang lebih dari sekedar berpengalaman mengurus birokrasi tapi juga "Tungang" dalam menghadapi tekanan, beuhe dalam melawan gertakan dan tentunya itu hanya dimiliki oleh orang orang tertentu, di sisi lain, tekanan yang dihadapai oleh pejabat Super Sub terasa lebih mudah kerana dia tidak terbebani oleh gerogotan timses, tidak punya beban apa-apa selain menjalankan roda birokrasi.

Sementara Kepala Daerah yang menang melalui proses kontestasi di Aceh senantiasa dihadapkan pada berbagai tuntutan yang lebih dari sekedar menjalankan roda birokrasi, sebut saja mulai dari penunjukan Kepala Dinas selaku pembantunya, dari situ saja tekanan demi tekanan dan juga bisikan demi bisikan yang juga tidak mustahil akan membusukkan sudah dimulai, belum lagi dalam urusan pemenangan tender dalam proeses pembangunan yang akan berlangsung, di luar Aceh sang Kepala Daerah paling-paling hanya menghadapi tekanan berupa ancaman penarikan dukungan dari pemodal jika ia tidak diuntungkan dan godaan sogokan kenikmatan berupa fee jika ada pemodal yang akan diuntungkan, tetapi di Aceh bisa saja seorang kepala daerah akan menghadapi hal yang sama plus teror-teror yang lebih mematikan, peluru siap mengancam, mobil dibakar, rumah digranat, itu adalah konsekwensi yang harus dihadapai oleh kepala daerah di negeri bekas perang.

"Maaf" tidak bermaksud menjustifikasi teror demi teror tersebut, tapi ini adalah realitas di mana kita tidak akan sanggup bertahan tanpa nyali yang besar, oke kita mengatakan tinggal menghubungi pihak keamanan, tapi saya sendiri sampai sejauh ini belum bisa percaya pihak keamanan tidak akan mampu dipengaruhi oleh mafia tertentu sehingga keamanan yang seharusnya kita dapatkan sering kali hanya menjadi harapan yang tak kunjung kita dapat.

Ini Aceh kawan, ini daerah perang kawan, ini tanah yang didiami oleh manusia yang belum sepenuhnya siap untuk hidup damai tanpa merusak kedamaian orang lain, ini tanah yang di sini masih terlalu banyak orang yang sakit hati karena pembohongan demi pembohongan, penindasan demi penindasan, mengelola tanah ini tidak semudah mengelola Kalimantan Selatan yang hanya menghadapi Godaan kucuran uang dari penguasaha nakal, tapi di sini nyawa sering kali jadi maianan.

Intinya, Aceh butuh pemimpin yang tahan tekanan dan juga paham birokrasi, bukan hanya tahan tekanan namun buta birokrasi, begitu juga sebaliknya, paham birokrasi tapi tak teruji menghadapi tekanan, jadi Aceh butuh lebih dari sekedar super sub, karena tekanan dan tanggung jawab Super Sub sungguh jauh berbeda dengan pemain utama. by Muhammad Ramadhan
Previous Post Next Post

نموذج الاتصال