, PEMERINTAH DI MANA, KETIKA MONSTER SEKS MENGHANTUI ANAK ACEH


BERANDA ACEH - Hampir tiap hari, lagi dan lagi, seakan sudah menjadi sebuah kebiasaan, tindakan kejahatan seksual terhadap anak semakin marak, bak jamur di musim hujan. Perang argumentasipun tak terhindari, semua berlagak hakim yang seakan berlomba-lomba memutuskan hukuman yang pantas untuk para "predator" tersebut.

Semua seolah-olah merasa paling yakin bahwa kejahatan itu terjadi hanya karena kesalahan tunggal si predator tanpa keterkaitan dengan pihak lain, sehingga ia sangat pantas di dakwa dan divonis dengan seberat-beratnya sebagai terdakwa tunggal.

Memang kejahatan yang dilakukan oleh para predator itu sangat mengerikan, hampir semua sepakat bahwa kejahatan seksual pada anak tidak layak untuk ditolerir apa lagi untuk dimaafkan.
Namun ada beberapa pertanyaan yang perlu dijawab untuk menyelesaikan kejahatan ini secara komperhensif dalam artian tidak hanya menghukum pelaku semata tapi juga menyentuh dan menyelesaikan hingga ke akar-akarnya sehingga tidak terulang lagi oleh pelaku lainnya di waktu dan tempat yang berbeda.

Pertanjaannja adalah:
1. Apakah kejahatan ini terjadi karena para predator mengidap penyakit pedofelia?
2. Atau karena karena para predator mengalami Hiper Seks?
3. Atau karena karena para predator gagal menyalurkan nafsu seksualnya pada orang dewasa (baik secara halal maupun haram)?
4. Atau karena para predator terinspirasi oleh media yang semakin vulgar bebas tanpa nilai?

Jika jawabannya adalah melibatkan no 4 maka ini menandakan bahwa perkembangan tekhnologi telah melampaui pertumbuhan akal manusia sehingga tekhnologi telah membawa pengaruh negatif yang seharusnya bisa dihindari oleh peranal akal. Lebih tegasnya lagi kita bisa mengatakan bahwa ini adalah dampak dari pertumbuhan raga yang telah melampaui perkembangan jiwa.

Jika hipotesis ini benar, maka para predator juga termasuk korban yang pada akhirnya mengorbankan korban-korban lainnya. Pelaku pemerkosaan atau kejahatan seksual pada anak ini adalah korban dari keteledoran dan ketidak pedulian pemerintah yang membiarkan situs porno maupun berbagai pemicu tindak kekerasan (kejahatan) seksual lainnya tayang secara bebas bin vulgar.

Kita semua sepakat kejahatan dan pelanggaran tidak untuk ditolerir tapi menghukum pelaku (predator) seksual saja tanpa menindak pemicu kejahatan seksual itu sendiri bukanlah solusi.
Artinya kita harus melihat persoalan ini secara lebih kompleks bukan hanya dari sisi klimaksnya (tindakan predator) saja tapi juga semua aspek yang terkait baik langsung maupun tidak langsung ke KEJAHATAN yang hendak diselesaikan.

Apakah dalam hal ini (mungkin) DPRA merumuskan Qanun untuk menertibkan situs dan segala media baik cetak maupun online yang ikut memicu tindak kejahatan seksual ini?

Kalau persoalan Batu Akik DPRA begitu responsif untuk merancang Qanun terkait "putaran uang?" yang dikaitkan dengan resolusi untuk melestarikan lingkungan, apakah kali ini DPRA belum punya cukup alasan untuk bertindak "melestarikan" manusia-manusia di lingkungannya "karena ketiadaan perputaran uang"?

Atau di pihak lain apakah Gubernur selaku pimpinan tertinggi di Daerah yang bersyari’at ini tidak bisa bertindak apapun dengan segala kekuasaannya misalnya dengan mengeluarkan pergub terkai dengan penertiban hal-hal yang bisa memicu terjadinya kejahatan yang sangat mengkhawatirkan dan sangat mengancam masa depan anak bangsa ini? Atau hanya peduli dengan kebijakan-kebijakangan yang menghasilkan keuntungan secara financial demi memuaskan nafsu kekayaan dan  kekuasaannya semanat?

Whell…Cuma bisa menghakimi? Terlalu naif untuk menjelesaikan persoalan ummat.

By Muhammad Ramadhan
Previous Post Next Post

نموذج الاتصال